Saya pernah membaca apa yang diujarkan Mas
Rijal Mumazziq beberapa tahun lalu dan saya sempat catat poin terakhir
tulisannya yang kurang lebih seperti ini,
“Siapa tahu, ada
remaja dengan kemampuan setara Eden Hazard tapi dia masih sibuk bekerja di
peternakan bebek. Siapa tahu pula sebenarnya ada pemain berbakat dengan
kemampuan menggiring bola sesempurna Ronaldinho tapi malah disuruh ayahnya
menjadi sales kapur barus”.
Saya merasa ada chemistry dengan
apa yang beliau ujarkan itu. Bagaimana tidak, saya sudah berkecimpung di
sepakbola kampung dan melihat bakat itu benar-benar maujud. Berjibel
skill-skill menawan yang terpampang dan tercipta secara alami.
Jadi begini. Ada beberapa bocah
di kampung yang permainan sepakbolanya mungkin melebihi level Messi atau
Ronaldo di umurnya. Exellentnya, mereka memiliki kemampuan itu tanpa
akademi. Mereka memainkan bola dengan bakat bawaan dan diajari oleh alam.
Lo, jelas toh. Lawong
lapangan desa itu kebanyakan berombak, rumput sampai dengkul, bahkan ada yang
miring. Sampean bisa bayangkan, lapangan miring samping digunakan sepakbola?!
Kalau ditendang mendatar ke arah kanan, dengan ajaib bisa berbelok ke kiri. Luh,
kalah itu tendangan plengkungan Roberto Carlos yang membuat Barthez melongo.
Dan anak-anak desa bisa mengatasi dengan senyum mengembang. Cobalah itu Ronaldo
main di lapangan begana. Pasti kzl.
Banyak “sekil-sekil” yang kemungkinan
jika dipoles optimal bisa jadi akan seperti pemain-pemain yang top yang ada di
eropa. Atau setidaknya jadi pemain di Liga Indonesia. Itu sudah baik. Lawong
nyatanya, kebanyakan mereka ya akhirnya jauh-jauh dari sepakbola. Jadi sales
hp, bikin wallpaper, jual buku, dan ngarit. Jauh dari bakat yang mereka miliki.
“Sekil-sekil” macam itulah yang
sering hilang dari Indonesia. Akademi tak ada. Sepulang sekolah, mereka tak
mendapat pendidikan sepakbola, tapi malah cari makan kambing dan sapi. Baru
ketika sore, mereka sepakbola. Dan itu saja sudah punya sekil luar biasa. Apalagi
kalau dapat. Ini pula yang jadi alasan pelatih Ghana pernah dengan jumawa
mengatakan bahwa sesungguhnya, Asamoah Gyan-lah yang layak jadi pemain terbaik
dunia. Tapi ada jikanya. Jika mendapatkan pendidikan sepakbola seperti Messi
dan Ronaldo.
Ketika pada akhirnya mereka tidak
mendapatkan pantauan dari pencari bakat.
Bisa ditebak, emak mereka akan dengan sedikit ngomel meminta anaknya menentukan
masa depan. Tidak melulu memimpikan jadi pemain sepakbola.
Faktanya memang tak ada pemandu
bakat yang bersedia blusukan macam apa yang pernah dilakukan oleh Coach Indra
Syafri, yang toh nyatanya berhasil membawa Indonesia memiliki nama “sedikit”
harum di Asia. Modal Indra Syafri adalah anak-anak desa yang ia dapat dari
blusukan.
Indonesia jelas luas dan itu
semestinya menjadi modal besar Indonesia bisa berkiprah di kancah dunia.
Bakat-bakat berjubel, tinggal mau atau tidak menjemput di desa-desa. Bakat
alamiah tinggal poles berjumlah ratusan ribu, bahkan jutaan akhirnya tersia-sia
begitu saja.
Saya sendiri pada akhirnya tetap
berharap ada orang yang bisa menjembatani bakat-bakat tersebut. Tapi entah
bakat itu masih ada atau tidak di desa. Berkumpul dan bermain sepakbola
tampakya jauh kalah populer dengan berkumpul untuk mabar di gadget
masing-masing.
0 Komentar