Saya membayangkan anak-anak
mencuri dengar guru mengajar di gebyok sekolah yang terbuat dari bambu.
Bayangan itu muncul begitu saja, ketika mendengar orang-orang tua bercerita
tentang masa lalu mereka. Betapa pendidikan yang layak sangat mereka dambakan.
Bisa belajar baca tulis. Mengenal tentang banyak hal disana.
Banyak tokoh yang dulu juga
pernah merasakannya. Salah satunya Pak Heru Irianto, pengusaha yang berdomisili
di Lamongan, Jawa Timur. Saya lebih mengenal dengan nama Amy Hewa, karena Abuya
Miftahul Luthfi lebih sering memanggilnya demikian. Beliau pernah bercerita,
sering mencuri dengar guru mengajar dari samping tembok sekolah.
Cerita-cerita itu
menggambarkan betapa, dulu, pendidikan formal menjadi sesuatu yang sangat
prestisius dan didamba. Tidak banyak yang mendapatkannya. Apalagi di desa.
Anak-anak yang tidak mampu sekolah barangkali iri dengan anak yang berasal dari
keluarga mampu. Mereka bisa bersekolah, mendapatkan pelajaran dan pendidikan
yang layak.
Tak heran, anak-anak rela
berjalan kaki dengan jarak yang sangat jauh, demi mendapatkan ilmu. Masih
banyak orang-orang yang di sekitar kita yang merasakan ini.
Dulu, guru menjadi sosok yang
sangat dihormati. Anak-anak yang bisa bersekolah, merasa berhutang budi karena
bisa mendapatkan ilmu dari mereka. Guru memberikan ilmu yang menurut mereka
penting untuk dimiliki.
Maka, apapun yang guru
lakukan, mereka bisa menerima. Sekalipun mendidik dengan ukuran yang menurut
orang sekarang kasar. Membentak, menempeleng, menjiwit, dan bahkan memukul
dengan rotan. Tapi setelah itu, tidak ada dendam. Sebab dari sanalah mereka
mendapatkan ilmu. Sakit sedikit, tidak masalah, asalkan dapat ilmu.
Saya masih ngonangi anak-anak
yang didaftarkan mengaji oleh orang tuanya kepada seorang guru. Orang tua tidak
segan memasrahkan total bentuk pendidikan sang anak kepada sang guru, dengan
cara apapun. “Saya pasrahkan anak saya kepada Panjenengan. Panjenengan
apakan anak saya, saya insya Alloh ikhlas dan ridlo”.
Itu terjadi karena menganggap
guru sebagai kunci penting dalam pedidikan bagi orang tua yang merasa tidak
mampu untuk mendidikan anaknya sendiri secara layak. Dan yang merasa butuh
pendidikan itu murid, bukan guru.
Naga-naganya, konstruksi itu
berubah. Apalagi dengan model pendidikan yang disandarkan pada urusan
transaksional.
Masalahnya, banyak anak yang
sudah merasa mampu dan enggan untuk menerima pendidikan dari guru. Murid sudah
tidak merasa membutuhkan pendidikan. Sekolah hanya menjadi seolah-olah saja.
Sudah tidak menjadi sesuatu yang "series". Maka tak heran kalau
banyak murid yang tidak sopan pada gurunya. Bahkan berani melawan.
Na’asnya, ketika guru
bertindak tegas, kecengengan anak didik, serta ketidakterimaan orang tua
menjadi soal. Banyak orang tua yang merasa urusan pendidikan itu urusan transaksional.
Sekolah dibayar, pelayanan harus baik dan meng-enak-kan murid. Guru tidak punya
ruang untuk melakukan tindakan disiplin menurut cara mereka. Karena orang tua
seringkali enggan menerima inisiatif pendidikan yang diiplih oleh guru. Apalagi
yang dianggap tidak meng-enak-kan anak mereka.
Maka, kita perlu menggali
kembali, pada posisi manakah sekolah kini berada. Masih dianggap pentingkah?
Atau hanya sekedar dianggap sebagai rutinitas belaka yang seolah-olah belajar.
0 Komentar