Takdir
adalah permainan teka-teki yang bahkan insting sama sekali tidak bisa menebak
dengan sempurna. Jawaban akan hadir ketika kenyataan sudah benar-benar datang.
Dan kadang, takdir datang dengan kenyataan yang mengagetkan, menyentak. Seperti
datangnya malaikat yang di utus Tuhan menyabut nyawa. Takdir pun hanya
mengeksekusi ketentuan yang sudah ditakdirkan Tuhan. Takdir tak punya tendensi apapun.
Harus aku
katakan bahwa kehidupan di dunia yang luas dengan keadaan tersudut adalah
menyakitkan. Terasing, dikucilkan, disepelekan. Sejatinya, aku bisa menikmati
banyak yang hal yang mungkin dianggap sulit oleh orang pada umumnya. Dan toh memang
aku tidak bisa tidak untuk tidak menikmati.
Masih
hidup sampai saat ini saja sudah baik. Masalah, jalan keluar, menyerah, kalah,
menang, sakit, bahagia. Semua terdatangi tanpa terkecuali. Kehidupan tanpa
problematika adalah kebohongan. Kata-kata itu yang membuatku agak nyaman
menjalani hidup. Semua orang punya masalahnya sendiri-sendiri. Tapi kenapa aku
banyak sekali?
:::
Setelah
menjalani waktu bertahun lamanya. Aku kini menemukan satu keduhan yang bisa
membuat hidup bisa lebih bahagia. Sorot matanya yang kuat, tegar. Sorot mata
yang tak henti membuatku memandangi bola matanya yang percaya diri.
Pertama
kali pandanganku menabrak tatapan matanya terjadi ketika aku sedang bekerja di
sebuah toko mainan anak-anak. Ia datang bersama keponakan perempuannya yang
berumur sekitar 5 tahun.
Acara
bertabrakan mata yang tidak terencana itu menjadikan kita seperti sekarang. Menjadi
sepasang...eee...seperti, entahlah.
Aku
sendiri sebenaranya tidak cukup kuat untuk menganggap ini sebagai hubungan.
Sebab esok hari akan ada benteng besar yang akan berdiri dan menghadang setiap
langkah yang aku, dan yang dia pilih. Sekte, ras, derajat, kasta. Problem
klise. ya! Orang-orang berhak menganggapnya demikian, tapi sebelum ia didatangi
oleh keadaan seperti ini, tak ada hak dia berkata begitu. Hambatan tetap hambatan. Seberapa umum pun
orang mengalaminya. Ia tetap hambatan yang harus dilewati. Dan seringkali
melewatiinya bukan hal mudah.
Kita
intens bertemu pasca aku pulang kerja. Suatu ketika, ia berkata,
“Barangkali
ada beberapa mata yang sama dengan mataku, salah satunya mata ibumu” Begitu ia
bertutur ketika pada suatu saat aku mengatakan kagum dengan sorot matanya, yang
hampir seperti mata ibuku. Penuh ketegaran.
Mungkin
pula mata itu adalah warisan secara ajaib ibu padanya. Mungkin. Dan mungkin
pula, itu yang bisa membuatku percaya padanya. Sangat percaya.
:::
Sudah
entah berapa kali aku datang ke rumahnya. Makan besar bersama keluarga besar. Kadang
aku berpikir bahwa apa yang ia sebut keluarga itu tidak seharusnya
menghadirkanku. Dan beberapa kali itu pula, aku tak pernah merasa menjadi
bagian dari apa yang ia anggap keluarga. Bohong kalau aku tak merasa kecewa
dengan sikap yang ditunjukkan oleh keluarganya kepadaku. Pandangan Ibunya yang
sinis, raut wajah anggota keluarga yang masam. Tapi sorot matanya yang teduh
itu selalu membuatku harus mengikis perasaan buruk atas apa yang terjadi. Dan
pada saat berikutnya, aku seperti tak pernah punya rasa trauma, aku lagi-lagi
datang ke acara keluarga besarnya. Tanpa dianggap seperti biasanya.
Pada
akhirnya aku harus kembali pada perasaan yang tidak terbendung atas perlakukan
keluarganya yang sulit diterima. Maksudku, sungguh membuat tak nyaman. Aku tau,
itu wajar. Sebab memang aku bukan bagian resmi dari keluarga mereka. Anehnya,
adiknya membawa kekasih, tapi mendapat perlakukan yang jauh lebih menyenangkan
dariku. Entahlah!
“Mungkin
sudah saatnya kamu tak perlu mambawaku ke acara keluargamu yang tidak pernah
mengharuskanku ada. Mungkin suatu saat, tidak untuk saat ini” Aku bertutur
dengan pelan. Aku juga tak ingin menyakiti perasaannya.
“Mungkin
memang dimikian. Maaf atas sikap keluargaku”
“Menurutku
itu wajar. Dan cukup baik untuk mengukur sejauh mana aku harus memberi jarak
dengan apapun yang bersentuhan denganmu”
Setelah
aku mengungkapkan hal tersebut. Aku mulai menjadi pemikir berat. Jika perlakuan
keluarganya demikian, tentu itu bukan tidak beralasan.
Pertama,
mungkin sebab aku sama sekali tidak –belum- punya hak untuk bergabung dengan
keluarga yang tidak –belum- menjadi keluargaku.
Kedua,
cukup realistis untuk tidak membiarkan perempuan dari trah, dan nasab yang
tidak jelas ke dalam bagian dari mereka. Meski aku adalah kekasih dari bagian
anggota keluarga mereka. Dan, toh itu tidak semerta-merta membuatku bisa
menembus trah mereka.
Bukankah
hanya kekasih? Atau meskipun esok menjadi istrinya, mungkin aku juga akan tetap
demikian. Tidak pernah menjadi dari bagian mereka secara utuh.
Dan
ketika aku ungkapkan hal tersebut kepadanya. Ia menggelengkan kepala, tidak setuju.
Tapi tentu aku tahu, mana gelengan yang penuh keyakinan dan tidak. Apalagi aku
cukup mengenalnya. Itu adalah penolakan yang hanya sekedar menolak. Ia pun sejatinya
memang tidak yakin bisa menembuskanku menjadi bagian keluarganya.
Mungkin
cinta membuat seseorang berpikir bodoh. Aku pun pernah memikirkan hal tersebut.
Siapa yang bilang bahwa cinta tanpa restu tidak membuat frustasi? Aku harus
jujur sedang dirundung hal tersebut pada suatu ketika. Dan bodohnya, aku
menyodorkan ide-ide yang....yang, bisa dibilang terlalu jenius, kalau tak ingin
disebut gila.
“Kawin
lari?”
Bukankah
itu ide klise? Dan hanya plagiat dari ftv dan sinetron yang kekurangan ide.
“Pura-pura
hamil?”
“Kalau
di-tes?” jawabnya.
“Kalau
begitu hamil beneran!”
“bodoh!”
jawabnya lagi dengan membawa marah.
Sebagai
perempuan, ide itu tentu sangat buruk. Dan untunglah ia laki-laki baik yang
bersedia menjaga kehormatan yang tak seharusnya ia rengkuh.
Baiklah,
aku mungkin tidak bisa menembus trah mereka yang tinggi. Mereka tentu tak bisa
membiarkan anak mereka yang punya sorot mata ketenangan itu mendapatkan seorang
istri yang miskin dan tak lagi punya keluarga. Tidak punya kejelasan seorang
ayah.
Bukankah
cukup sederhana? Aku adalah logo primitif. Membiarkan anaknya bersama perempuan
dari golongan primitif adalah sebuah kesalahan besar. Ya, ya. Dan cinta bukan
hanya kesamaan gelombang asmara yang bersentuhan. Tapi soal kasta yang harus satu
garis. Soal sosial yang harus satu ranah. Bukankah begitu?
:::
Jika
mataku tak megeluarkan air mata. Tentu aku tak bersedia menunduk. Dan nyatanya
aku tertunduk. Di bawah kata-kata dan sorot mata merahnya yang mengerikan, kata-katanya
yang menggelegar.
“Sesungguhnya
bukan karena kamu adalah bagian dari lambang keprimitifan yang membuatku,
sebagai ibu, harus berpikir jutaan kali untuk membiarkanmu dipersunting anakku yang
kini kamu anggap kekasih itu. Bukan karena kamu adalah percontohan dari
ketidakmampuan berpikir logis untuk menerima pinangan yang dilayangkan oleh
seorang laki-laki. Bukan itu semua, tidak sama sekali. Jadi menurutmu apa? Kamu
tahu?”
Aku hanya
menggeleng. Dan hanya melakukannya sekali.
“Itulah
masalahnya. Kamu tak pernah mau mencari tahu”
Kata-kata
yang sungguh kasar untuk seorang perempuan menahan air mata yang jelas sedang
tersudut.
“Sekali
lagi. Bukan karena kamu primitif, miskin, dan golongan tersudut. Tidak, tidak
sama sekali. Tapi karena Aku, keluarga ini, adalah sebuah keluarga yang
dilahirkan dalam sebuah kultur, trah, yang tidak primitif, tidak miskin, dan
tidak kekurangan. Andaikan aku adalah orang miskin, aku akan mudah menerimamu. Tidak
perlu berpikir sejuta kali. Tapi sayangnya aku, keluarga ini adalah keluarga kaya.
Dan tentu saja menerimamu adalah sebuah kesulitan.
“Sekali
lagi, bukan karena kamu miskin. Tapi karena aku kaya, ahahahahahaha”
Setelah
mengatakan itu. Ia melenggang pergi dengan tawa menggelegar. Masih menggelegar.
Aku
mamandang sorot mata anakanya. Tidak ada lagi ketenangan, tak ada keteduhan yang
terpancar.
Air mata
lagi yang bicara. Bedanya, mata teduhnya kini juga ikut berkata dengan air
mata.
0 Komentar