Mengusung Kebebasan
Kebebasan adalah hak mutlak yang dimiliki manusia. Sinisme sebagian umat
islam pada orang yang berbeda pendapat hingga memunculkan konflik adalah hal
yang sama sekali tidak pantas terjadi. Kebebasan berpikir dan berpendapat yang
dilegalkan dalam Islam pernah mencatatkan sejarah brilian. Munculnya para ahli
dalam fiqh yang dalam perjalanannya memunculkan berbagai ijtihad berbeda. Namun
klaim kebenaran tidak ditonjolkan hingga semua pihak bebas untuk merasakan
atmosfir pengetahuan yang dominan.
Meski seperti yang banyak dipahami, ada sejarah kelam yang melibatkan para
ilmuwan dengan pemerintahan yang berhadap-hadapan karena perbedaan pandangan.
Padahal di kalangan antar ilmuwan, perbedaan merupakan sesuatu yang niscaya dan
tidak mungkin bisa dihindari. Tergambar secara gamblang dalam banyaknya
perbedaan pandangan para tokoh besr islam macam Imam Syafi’i dengan sang guru
(Imam Malik), juga Imam Hambali dengan sang guru (Imam Syafi’i). Kiranya itu
cukup menggambarkan sikap legowo dan bisa menerima realitas perbedaan dan
memberikan kebebesan seluas-luasnya atas dasar ilmu pengetahuan.
Kebebasan berpikir itu pula yang pada akhirnya melahirkan banyak ilmuan
muslim terkemuka. Bukan hanya berbeda pendapat, bahkan islam pun tidak mengotak
manusia dengan harus memeluk agama islam. Kebebasan berkeyakinan dipegang erat
oleh umat islam dengan dasar surat al-Baqoroh ayat 256, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam)” serta surat
al-Kahfi ayat 29, “Barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir), biarlah ia
kafir”.
Kemandegan yang terjadi pada pengetahuan adalah ketika kebebesan berpikir
dan berpendapat diberangus untuk menjaga eksistensi pengetahuan yang telah ada.
Dalam hal ini, Gus Mus pernah berutur, bahwa “Silakan berpikir paling gila sekalipun, tapi jangan pernah berhenti
belajar”. Pada posisi inilah, Islam akan mengorbitkan para pemikir yang
terlatih. Tidak taklid buta pada ijtihad yang telah ada. Yang menjadi kunci
adalah, jangan berhenti belajar. Belajar yang terus dilakukan akan memuarakan
pada kedewasaan berpikir dan kearifan dalam merenung. Maka tidak sedikit orang
yang di masa muda begitu getol menyuarakan pendapat yang berbeda, namun pada
akhirnya akan kembali pada jalur lazimya pengetahuan yang telah ada. Kuncinya
adalah tidak berhenti belajar. Dengan cara berpikir yang jauh lebih matang.
Keluarga Sebagai Pilar
Keluarga adalah sendi penting terciptanya sebuah peradaban berkualitas.
Dalam teori revolusi, keluarga adalah skup terkecil dari revolusi budaya.
Perbaikan dalam keluarga sebagai akar budaya turut memprakarsai revolusi budaya
pada skup yang lebih besar. Maka dalam islam, pernikahan benar-benar dijaga dan
ditata sedemikian rupa demi terciptanya sebuah bangunan keluarga yang
berkualitas.
Sejak dari awal, Rosululloh saw. sudah mewanti-wanti, agar dasar
utama yang dijadikan pedoman ketika menikah adalah agamanya, “Wanita itu dinikahi karena empat
perkara: karena hartanya, kemuliaan nasabnya, kecantikannya, dan karena
agamanya. Maka nikahilah wanita yang baik agamanya niscaya kamu akan selamat”.
Sebab pernikahan tidak hanya bertemunya laki-laki dan perempuan dalam
perjanjian yang kuat (mitsaqon golidho), namun juga soal regenerasi. Dan
baiknya generasi masa depan ditentutan oleh kualitas dalam diri perempuan. Yang
dalam istilah Abuya Mifathul Luthfi Muhammad, “Laki-laki bagaikan tebu. Dan
perempuan adalah pabrik gula. Kualitas pabrik gula yang bagus akan menyiptakan
gula yang bagus pula”. Dan dalam qiyasan yang lain, “Perempuan bagaikan
cetakan. Sedang laki-laki bagaikan tanah liat. Kulitas alat cetak menentukan
hasil dari cetakan yang dibuat”.
Pendidikan terhadap keluarga, anak khususnya, sebagai generasi yang
melanjutkan perjuangan dalam meneguhkan agama Alloh menjadi aset masa depan
yang penting. Karaktersitik anak dan orang tua yang cenderung sama –setidaknya
jauh lebih sama dibandingkan dengan karakteristik dengan orang lain- akan mudah
memberikan pendidikan. Maka dalam islam, al-usroh itu madrosatul ula,
keluarga adalah pendidikan pertama. Dan ini penting untuk menguatkan sendi
keluarga dan menyatukan misi.
Dan akhlak baik tersebut sesungguhnya tidak ada berkutat pada keluarga
sendiri (suami-istri-anak), namun juga pada lingkup yang lebih luas (keluarga
jauh). Seringkali keluarga jauh dilupakan sebab intensitas bertemu yang minim.
Dan dalam islam, hubungan tersebut tidak diperkenankan putus, Rosululloh saw.
bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutus tali silaturahmi”.
Masyarakat
Satu realitas yang tidak bisa dibantah bahwa islam telah menunjukkan
kemajuan dalam hubungan interaksi sosial. Kekuatan individu yang disatukan
dalam wadah besar bernama masyarakat. Rosululloh saw. bersabda, “Seorang mukmin terhadap mukmin
(lainnya) bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan”.
Rasa bersaudara antar umat islam
dalam wadah masyarakat setidaknya telah disiapkan oleh Rosululloh saw. untuk
mengarungi kehidupan dengan persatuan. Seperti halnya akhlak dalam makna luas,
hilangnya rasa bersaudara adalah keprihatinan yang menyesakkan. Bukan hanya
bagi umat islam saja, namun nurani manusia pun akan dengan otomatis merasakan
fenomena tersebut sebagai keprihatinan. Atwater secara terang-terangan
menunjukkan keprihatinan akan hilangnya rasa bersaudara, “Rasa sakitku telah
membantuku untuk mengetahui bahwa ada yang telah hilang dalam masyarakat. Hal
itu kurasakan dalam diriku juga. Rasa itu adalag kurangnya rasa cinta dan kasih
sayang, sedikitnya rasa persaudaraan”.
Tak ayal, ketika Rosululloh saw.
hijrah ke Madinah. Salah satu hal yang dijadikan sebagai agenda utama adalah
memersaudarakan kaum Muhajjirin dan Anshor. Ini momentum sakral untuk membangun
sebuah masyarakat yang berbeda kultur, untuk saling menguatkan, saling
menanggung (takaful). Tanpa rasa bersaudara, barangkali membangun
masyarakat dengan konsep baru akan sukar
diwujudkan.
Rosululloh saw. telah mengajarkan untuk memberikan bantuan kepada
orang-orang yang membutuhkan dan ikut prihatin dan bertanggungjawab terhadap
individu masyarakat yang hidup bersamanya, berupa berbagai macam sedekah kepada
setiap jiwa. Diriwayatkan oleh Abu Dzar, Rosululloh saw. bersabda, “Setiap
jiwa dalam tiap hari saat matahari terbit terdapat sedekah atas dirinya”.
Aku bertanya, “Ya Rosululloh, darimana kita akan bersedekah sedang kita
tidak mempunyai harta?” Rosululloh menjawab, “Pintu-pintu sedekah itu di
antaranya; menunjukkan jalan untuk orang yang buta, membantu orang yang bisu
dan tuli hingga dia paham, menunjukkan tempat orang yang tidak mengetahui
tempat yang mana kamu mengetahui tempatnya, mengalirkan air dengan seluruh curahan
kepada mulut-mulut orang yang membutuhkan air, membantu mengangkat beban dengan
lenganmu, dengan segala kemampuan meski terbatas. Semua itu termasuk
pintu-pintu sedekah darimu untuk dirimu”
Nilai-nilai ini menunjukkan tanda unggulnya peradaban yang didahului oleh
islam atas semua aturan dan undang-undang yang ada setelah itu. Memberi
petunjuk kepada orang buta, mendengarkan dan membantu orang yang bisu dan tuli.
Ketika asas bersaudara telah terbangun, untuk mengondisikan sebuah
masyarakat yang sadar akan keadilan dalam interaksi akan semakin mudah
dibentuk. Dalam keadilan, tidak ada tendensi cinta atau benci. Tidak ada yang
berbeda antara yang rendah yang tinggi. Bahkan pandangan terhadap muslim dan
non-muslim pun tidak boleh diikut sertakan dalam menegakkan keadilan. Segalanya
harus diretas menjadi sama rata, netral.
Ini yang disabdakan oleh Rosululloh saw. dengan tegas, “Sesungguhnya
yang membuat binasa kaum sebelum kalian adalah jika di antara mereka yang
mencuri berasal dari kalangan bangsawan, mereka membiarkan saja. Jika yang
mencuri itu dari kalangan orang-orang lemah, mereka menerapkan hukuman. Demi
Alloh, andai Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong
tangannya”.
Keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu tersebut didasari rasa welas asih
(kasih sayang) yang dikedepankan dalam kondisi bagaimanapun. Dan umat islam
terhadap umat islam yang lain harus senantiasa mengondisikan welas-asih.
Bagaimana tidak, ajaran Islam telah dengan gamblang mengajarkan pentingnya welas
asih dalam kehidupan sehari-hari. “Berbelas kasihlah kepada semua orang
yang ada di muka bumi, niscaya kamu akan dikasihi oleh semua penghuni langit”.
Bukan hanya manusia, islam juga mengajarkan kasih sayang diberikan kepada
makhluk lain. Rosululloh saw. menceritakan kepada sahabatnya bahwa surga
pintu-pintunya kepada seorang pezina yang tergerak hatinya oleh seekor anjing.
Sebagaimana dalam sabdanya, “Ketika seekor anjing itu mengitari sebuah sumur
dan rasa dahaga hampir membunuhnya, ada seorang pezina dari Bani Israil melihatnya
lalu melepaskan sepatunya, lalu memberikan minum. Wanitu itu diampuni dosanya
lantaran perbuatan tersebut.
Menerapkan Kedamaian
Barangkali seringkali menjadi tanda tanya, jika islam adalah agama yang
damai, bagaimana mungkin mereka berpegang? Ini perlu diluruskan bahwa
Rosulullah saw. senantiasa menginginkan jalan damai dalam menyebarkan agama
islam. Rosululloh saw. mengajarkan, “Jangan kamu berangan-angan untuk
bertemu musuh. Berdoalah kepada Alloh agar diberi keselamatan”.
Rosululloh saw. menghindari peperangan dan pertumpahan darah. Perang hanya
akan dilakukan jika ada yang mulai memerangi terlebih dahulu. Maka salah besar
jika perang dilecut oleh umat muslim. Bahkan Rosululloh saw. seringkali
menggunakan diplomasi untuk menjaga stabilitas. Seperti diplomasi yang
melahirkan perjanjian dengan penduduk yahudi Madinah. Potensi perang bukan
tidak ada. Maka Rosululloh saw. memilih jalan diplomasi sebagai alternatif
menghindari peperangan.
Dan jika pada akhirnya tidak ada pilihan lain selain berperang, islam tetap
membatasi dan menggunakan adab dalam berperang.
·
Tidak membunuh para wanita,
orang tua, dan anak-anak.
·
Larang membunuh ahli Ibadah.
·
Larangan untuk berlaku
curang.
·
Tidak membuat kerusakan di
bumi (tidak meluluh lantakkan).
·
Memberi infaq kepada para
tawanan.
·
Larangan mengerat (mutilasi)
mayat.
Bahkan dalam kondisi peperengan pun, masih ada etika da kemanusiaan yang
digunakan. Hal-hal mulia itulah yang digagas oleh orang yang juga paling mulia.
Alangkah indahnya apabila apa yang digagas oleh Rosululloh saw. Dipraktikkan
oleh umatnya.
0 Komentar