Pembentukan negara
dalam kemerdekaan Indonesia yang terjadi beberapa puluh tahun lalu dengan
menggunakan dasar negara berbentuk republik dengan kekuatan berasas demokrasi
ternyata sampai kini masih saja “terdengar” kekecewaan dari beberapa kalangan.
Beberapa orang masih berharap bahwa negara ini dibentuk atas dasar pure islam.
Rasa kecewa tersebut bukan tanpa alasan. Perjuangan Indonesia dianggap sebagai hasil
dari bentuk partisipasi konkrit dan nyata dari tokoh-tokoh islam serta pergerakan
umat yang terkoordinir demi terciptanya bangsa yang merdeka. Kekuatan masa
Islam pada waktu itu jelas-jelas terlihat dan menjadi sumbangsih besar dalam
mengentaskan kehidupan yang benar-benar lepas dari segala bentuk penjajahan
kolonial.
Dan kesepakatan founding
father akhirnya memilih menjadi negara demokrasi. Tidak sedikit dari tokoh-tokoh
Islam yang ikut merumuskan pembentukan bentuk negara Indonesia dalam persiapan
maupun andil dalam hal lain pasca kemerdekaan. Dan pilihan untuk tidak
menggunakan opsi Indonesia menjadi negara Islam adalah pilihan yang sudah semestinya
dihormati dan dijunjung. Pilihan yang tentu saja tidak serampangan. Meski pada
kenyataannya, masih saja muncul gerakan dari dalam tubuh umat Islam Indonesia
yang meneriakkan dengan lantang untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara
Islam. Aspirasi yang muncul itu pada akhirnya membantuk kekuatan bernama DI/TII
pada waktu itu. Dengan cepat pemerintah bertindak untuk meretas pergerakan
mereka dan tidak membiarkan gerakan tersebut semaki meluas. Pada akhirnya
memang gerakan tersebut tidak menghasilkan apapun dalam konstitusi negara.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa kemerdekaan Indonesia memang tidak bisa lepas dari Ulama
sebagai tokoh Islam dan serta adanya kekuatan besar umat Islam sendiri. SI
(serikat Islam) bahkan termasuk sebuah organisasi awal yang memunculkan cara berpikir
modernis dan bergerak di atas berbagai ruang, salah satunya adalah ruang
politik. Tumbuhnya kesadaran kemerdekaan itupun lambat laun menghinggapi tubuh
organisasi yang ditunjukkan dengan orasi-orasi dan tulisan-tulisan yang
menyinggung kemerdekaan dari kekuasaan penjajah. Perjuangan Serikat Islam pada
waktu itu lebih universal dan lebih menyeluruh dari perjuangan-perjuangan
sebelumnya yang lebih pada spectrum daerah. Seperti halnya perang Diponogoro
dan Perang Aceh yang tidak lebih adalah hanya perjuangan kemerdekaan dalam arti
pembebasan teritorial tertentu dari kekuasaan penjajah. (Abdurrahman Wahid,
Massa Islam dalam Bernegara, PRISMA 1984)
Pembentukan negara
Indonesia-pun tidak semerta-merta menyingkirkan pelibatan Ulama sebagai
pertimbangan berdirinya negara di tanah umat yang mayoritas Islam ini. Dan
besar negara yang berdiri dengan landasan demokrasi inipun juga mendapat restu
dari tokoh-tokoh Islam pada waktu itu. Hubungan baik pemerintah dengan
organisasi besar Islam menjadi bukti bahwa ada indikasi terciptanya kesepakatan
politik dalam pembentukan negara yang hingga masih tetap menjaga dasar
pendirian tersebut -meski dalam beberapa kasus, banyak penyelewengan dan amandemenisasi-
Contoh konkrit
partisipasi dari Ulama’ yang tercipta pasca kemerdekaan bisa kita lihat dengan
gamblang beberapa bulan setelah Indonesia merdeka. Yaitu dengan adanya resolusi
jihad yang diserukan oleh ketua sekaligus pendiri NU (Nahdlotul Ulama’) pada
waktu itu, yaitu Hadhrotusyaikh Hasyim Asy’ari. Resolusi yang mengobarkan
gairah jihad melawan penjajah yang masih saja belum bisa menerima kemerdekaan
bangsa Indonesia dengan mengirimkan pasukannya kembali ke tanah pribumi, salah
satunya di Surabaya. Gelora Jihad yang
menggebu-nggebu dari bangsa Indonesia, Jawa Timur khususnya, dengan adanya
resolusi jihad tersebut yang pada akhirnya membunuh Jenderal Mallaby dan
melahirkan sejarah bangsa bernama hari
pahlawan pada 10 November 1945.
Dan sekali lagi,
nada ketidakpuasaan melihat kenyataan bangsa ini tidak berasaskan Islam itu
masih saja terdengar. Sebuah kekecewaan lama yang terlambat dan tidak
seharusnya didengungkan kembali. Sebuah daulah Islamiyah atau negara dengan
sistem yang dianggap berlandas syariah Islam itu pada kenyataannya tidak
menunjukkan kejelasan sikap, jika yang dituju adalah kesejahteraan menyeluruh. Apalagi
kultur kita adalah bangsa yang mencakup segala aspek adat, dan budaya yang
beragam. Dan hal itu tidak bisa disatukan dengan perumusan model seperti yang
didengungkan oleh beberapa pihak tersebut.
Adanya dasar negara
berupa pancasila dan Undang-undang Dasar sebenarnya telah memberikan “lubang”
untuk melihat ke dalam tubuh Indonesia yang didirikan oleh founding father. “Ketuhanan
yang Maha Esa” dalam sila pertama pancasila serta “Atas berkat Rahmat Allah” dalam
pembukaan Undang-undang dasar negara 1945 telah memberikan gambaran, di mana
akar tumbuhnya negara dan kemana arah kita bermuara. Kita telah disuguhan
sebuah negara yang berbentuk demokrasi dengan ruh beraama dan berkeyakinan. Tidak
ada satupun isi pancasila yang berlawanan dengan ajaran yang ada dalam Islam.
Yang salah dengan
banyaknya problematika yang kita lihat dan hadapi setiap hari bukanlah
semerta-merta hanya masalah sistem. Akan tetapi lebih pada sikap, perilaku,
perangai, kelakuan orang-orang yang memegang sistem tersebut.
Ada pengakuan
menarik, yang mungkin bisa menjadi bahan renungan kita bersama dalam menyikapi
ocehan sistem daulah islam yang diajukan itu. Hal ini pernah disampaikan oleh
Ustadz Arif Khunaifi dalam tulisannya di Majalah MAYAra. Yaitu pengakuan dari
orang Sudan yang kini berada di Puspa Agro Surabaya. Ia menuturkan bahwa benar
adanya jika negaranya adalah negara yang menganut sistem daulah Islam dan
penguasanya pun “mengaku” beragama Islam. Hal tersebut benar adanya. Akan
tetapi, darah berceceran di Masjid. Orang-orang yang sholat menjadi korban
ketidaksukaan penguasa pada hal-hal yang berbau agama. Suara Al-Qur’an hanya
menjadi suara kerinduan yang tidak pernah terdengar nyata. Alasan itulah yang
membuat orang tersebut lari dari negaranya sebab ingin merasakan rasa nyaman
dalam beribadah. Dan sampailah ia di Indonesia, negara yang tidak menganut
sistem daulah Islam, namun memberikan kelonggaran, kebebasan, kenyamanan, dan
ketentraman dalam beribadah.
0 Komentar