
Bilqolam- Nukilan di atas merupakan maqolah dari Dzun
Nun al-Misri yang dibaca oleh Ustadz Ali Misbahul Munir pada Kajian Risalatul
Qusyairiyah (9/4) di Ribath al-Ibadah al-Islamy asy-Syarif yang diasuh oleh
Romo Siddi Miftahul Luthfi Muhammad al-Mutawakkil. Risalah Qusyairiyah sendiri
merupakan kitab karangan Syaikh Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin
Tholhah bin Muhammad. Atau yang biasa dikenal dengan Imam Qusyairi
an-Naisabury.
Pada kesempatan siang hari ini (9/4) Ustadz Ali Misbahul Munir yang juga merupakan pengasuh Ma’had Nurul Qur’an, Mleto, Surabaya mengkaji Bab Khouf (takut). Beliau membaca beberapa qoul para ulama’ tasawwuf, para sahabat nabi, serta ayat-ayat al-Qur’an sebagai landasan. Misalnya, qoul dari Hatim al-Ashom mengomentari makna al-khouf, beliau menjelaskan: “Setiap sesuatu ada perhiasannya, dan perhiasan ibadah adalah takut. Tanda takut adalah membatasi keinginan”.
Para ulama’ tasawuf, ujar Ustadz Ali Misbahul Munir, memang sangat kukuh soal olah hati demi menyukseskan hubungan baik hamba dengan TuHannya. Maka tak heran, kehidupan para ulama’ sufi menunjukkan amal dan qoul yang mengandung hikmah. Seperti yang beliau baca siang ini, mengenai Syeikh Abu Ali ad-Daqqoq yang pernah menyeritakan, bahwa beliau pernah pergi untuk mengunjungi Abu Bakr bin Furok ketika sakit. Ketika Abu Bakr bin Furak melihatku, air matanya mengalir bercucuran. Lalu Syaikh Abu Ali ad-Daqqoq berkata kepadanya, “Semoga Alloh mengembalikan kesehatanmu dan menyembuhkanmu dari sakit”. Abu Bakr bin Furok pun protes dengan apa yang dikatakan oleh Syaikh Abu Ali ad-Daqqoq, ia berujar “Apakah Anda mengira aku takut mati? Tidak saudaraku. Sesungguhnya aku takut akan ada yang ada di balik kematian”.
Pada kesempatan siang hari ini (9/4) Ustadz Ali Misbahul Munir yang juga merupakan pengasuh Ma’had Nurul Qur’an, Mleto, Surabaya mengkaji Bab Khouf (takut). Beliau membaca beberapa qoul para ulama’ tasawwuf, para sahabat nabi, serta ayat-ayat al-Qur’an sebagai landasan. Misalnya, qoul dari Hatim al-Ashom mengomentari makna al-khouf, beliau menjelaskan: “Setiap sesuatu ada perhiasannya, dan perhiasan ibadah adalah takut. Tanda takut adalah membatasi keinginan”.
Para ulama’ tasawuf, ujar Ustadz Ali Misbahul Munir, memang sangat kukuh soal olah hati demi menyukseskan hubungan baik hamba dengan TuHannya. Maka tak heran, kehidupan para ulama’ sufi menunjukkan amal dan qoul yang mengandung hikmah. Seperti yang beliau baca siang ini, mengenai Syeikh Abu Ali ad-Daqqoq yang pernah menyeritakan, bahwa beliau pernah pergi untuk mengunjungi Abu Bakr bin Furok ketika sakit. Ketika Abu Bakr bin Furak melihatku, air matanya mengalir bercucuran. Lalu Syaikh Abu Ali ad-Daqqoq berkata kepadanya, “Semoga Alloh mengembalikan kesehatanmu dan menyembuhkanmu dari sakit”. Abu Bakr bin Furok pun protes dengan apa yang dikatakan oleh Syaikh Abu Ali ad-Daqqoq, ia berujar “Apakah Anda mengira aku takut mati? Tidak saudaraku. Sesungguhnya aku takut akan ada yang ada di balik kematian”.
Baliau juga menyeritakan mengenai Ibunda
Aisyah r.ha. yang bertanya kepada Rosululloh saw. Mengenai ayat,
وَٱلَّذِينَ
يُؤۡتُونَ مَآ ءَاتَواْ وَّقُلُوبُهُمۡ وَجِلَةٌ أَنَّهُمۡ إِلَىٰ رَبِّهِمۡ
رَٰجِعُونَ ٦٠
“Dan orang-orang yang memberikan
apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu
bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka”. (Qs. al-Mu’minun
[23]: 60).
Apakah
mereka itu orang-orang yang pernah mencuri dan berzina serta minum minuman
keras? Rosululloh saw. Menjawab, “Bukan, mereka adalah orang-orang yang
berpuasa, solat, dan membayar zakat, namun mereka takut kalau –kalau semua amal
mereka tidak diterima.
أُوْلَٰٓئِكَ
يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَهُمۡ لَهَا سَٰبِقُونَ ٦١
“Mereka itu
bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang
segera memerolehnya” (Qs. al-Mu’minun [23]: 61).
Di tengah qoul
para ulama’ tersebut, terdapat syair yang indah dai Syaikh Abu Ali ad-Daqqoq
mengenai lengahnya seseorang dari khouf. Merasa telah tenang dan senang dengan
kondisi mereka dan mereka diuji, sehingga perilakunya menjadi buruk. Perilaku moqorrobah
berganti dengan perbuatan keji, dan hudhur menjadi ghoib. Lantas Syaikh Ali
ad-Daqqoq bersyair,
Engkau menduga hari-hari penuh kebaikan jika engkau baik.
Tapi engkau tak pernah takut tentang takdir yang bakal tiba
Malam-malam hari memberkikan ketentraman kepadamu
Hingga engkau tertipu olehnya
Sesudah malam yang cerah
Datanglah kesedihan
Ustadz
Ai Misbahul Munir juga menyeritakan cerita mengenaik dua orang yang saling menemani
dalam menempuh cita-cita spiritual. Kemudian salah satunya pergi meninggalkan
sahabatnya. Seiring berjalan waktu, tidak terdengar lagi kabar mengenai
dirinya. Sahabat yang ditinggal pergi kemudian ikut berperan bersama tentara
kaum muslim untuk memerangi balatentara Romawi. Dalam pertempuran itu, seorang tentara musuh yang
memakai baju besi menyerang tentara Muslim dan menantang duel. Seorang ksatria
Muslim maju ke depan dan tentara musuh itu membunuhnya. Kemudian maju lagi
seorang ksatria Muslim, dan ia pun terbunuh. Kasatria Muslim yang ketiga maju
ke depan, juga terbunuh. Kemudian majulah Sang Sufi ke depana dan keduanya lalu
terlibat dalam pertempuran. Topeng yang menutupi wajah tentara Romawi itu
terlepas, dan ternyata aia adalah sahabat sang Sufi yang dulu telah menemaninya
beribadah selama bertahun-tahun! Maka berserulah sang Sufi : Model apa ini?”
Musuhnya menjawab: “Aku telah murtad dan
menikah dengan sorang wanita dari kaum ini. Aku sudah memiliki anak-anak dan
harta yang melimpah.”
Sang Sufi berteriak: “Dan engkau adalah orang
yang dahulu bisa membaca al-Qur’an dengan berbagai gaya bacaannya!.”
Ia menjawab : “Satu huruf pun aku tidak
ingat lagi dari padanya.”
Maka, sang Sufi lalu berkata kepadanya:
“Berhentilah dari sikap perilakumu itu, bertobatlah!”
Ia menjawab dengan ketus: “Aku tidak
mau, sebab aku telah memperoleh kemasyhuran dan kekayaan. Tinggalkan saja
diriku, atau aku akan melakukan atas dirimu sebagaimana yang telah kulakukan
terhadap ketiga orang temanmu!.”
Sang Sufi berkata: “Ketahuilah, bahwa
engkau telah membunuh tiga orang Muslim. Tidak ada malu yang akan menimpamu
jika kamu pergi saja dari sini. Karena itu, pergilah dan aku akan memberimu
tenggang waktu!.”
Maka, orang itu pun mundur ke belakang
dan berbalik. Sang Sufi mengikutinya dan membunuh dengan pedangnya. Sungguh
ironis, setelah menempuh perjuangan dan disiplin spiritual yang cukup lama dan
berat, orang itu akhirnya mati sebagai orang Nasroni!” (ayt/11/krq)
0 Komentar