“Berpikir itu ada dua macam: berpikir yang timbul sebab pembenaran
atau iman dan berpikir yang timbul dari penyaksian atau penglihatan.
Yang pertama milik mereka yang bisa mengambil pelajaran, sedangkan yang kedua
milik mereka yang menyaksikan dan melihat dengan mata hati.”
Al-Fikrotu, di bait 262 dan 263 dikatan oleh Ibnu Athoiillah
sebagai Sairul Qolbi fî mayâdînil aghyâri, petualangan hati di
medan ciptaan Alloh serta Sarojul Qolbi, lenteranya hati.
Berpikir mempunyai tempat yang vital dalam kehidupan seorang
salik. Anugerah dari Alloh berupa akal akan tidak bermakna apa-apa tanpa
digunakan untuk berpikir. Alloh sendiri menekankan kepada manusia untuk
senantiasa menggunakan akalnya,
“...Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran,
hai orang-orang yang mempunyai wawasan (QS. Al-Hasyr [59]: 2).
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan
bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya
kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah
Al Quran itu.”
Menurut Ibnu
Rusyd, filosof Muslim di Cordoba, Andalusia (Spanyol) dalam bukunya Fashl
al-Maqal Bayna al-Hikmah wa Asy-Syariah menerangkan bahwa kedua ayat
itu menujukkan betapa berpikir adalah perintah. Dimana dalam hal ini bukan saja
logika akal semata yang harus dijalankan, tetapi juga syariat secara beriringan,
sehingga perintah berpikir ini dapat menyempurnakan kekuatan dzikir dalam
kehidupan sehari-hari.
Muhammad
Natsir dalam Capita Selecta menuliskan, “Bertebaran di dalam al-Qur’an
pertanyaan-pertanyaan yang memikat perhatian, menyuruh orang mempergunakan
pikiran dan mendorong manusia supaya mempergunakan akalnya dengan
sebaik-baiknya;
“Kenapa
mereka tidak berfikir?”
“Kenapa mereka tiada mengetahui?”
“Kenapa
mereka tiada mempergunakan akal,” dan demikikanlah seterusnya…!”
Dengan
berpikir, manusia akan terbebas dari bergantung kepada selain Allah. Oleh
karena itu, Ibn Al-Jauzi dalam Shaidul Khatir mendorong umat
Islam untuk hanya memohon kepada Allah, pencipta segala macam sebab.
“Kembalilah
pada asal mula yang pertama. Mintalah dari Dzat yang menciptakan sebab. Duhai…
betapa beruntung dirimu bila engkau (berpikir dan) bisa mengetahuinya! Karena
mengetahui hal itu berarti (mengerti) kerajaan dunia dan akhirat.”
Pada bait
264, Ibnu Athoillah membuat dua kategori berpikir. Pertama, berpikirnya
seseorang yang bersumber dari pokok keimanannya. Berpikirnya seorang ahli iman
bertujuan untuk meraih kedudukan tinggi dan menambah keyakinan. Oleh sebab itu,
tafakur ini disebut dengan fikrot at-taraqqi (berpikir untuk
naik). Inilah jalan yang ditempuh oleh ahli iman.
Kedua, berpikir yang bersumber dari penglihatan dan pandangan. Berpikir yang seperti ini disebut fikrat at-tadalli (tafakur untuk turun). Tafakur ini milik para majdzubun (secara bahasa memiliki arti tertarik, terhisap atau lebih mudah lagi adalah tenggelam dalam keasyikan pada suatu hal. Dalam hal ini, salik adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk syuhud dan istibshor, kemampuan melihat dan menyaksikan dengan mata hati atas segala ciptaan Alloh)
Cara berpikir
pertama milik orang-orang yang bisa mengambil pelajaran, yakni orang-orang yang
menyimpulkan bahwa keberadaan akibat (makhluk) dilahirkan oleh sebab (Khalik).
Mereka adalah para salikun saat mengalami taroqqi (naik ke
atas) karena pikiran mereka bersumber dari pembenaran dan iman.
Adapun cara
berpikir yang kedua milik orang-orang yang menyimpulkan bahwa keberadaan sebab
(Khalik) adalah yang melahirkan akibat (makhluk). Mereka adalah para majdzubun
saat mereka mengalami tadalli (turun ke bawah). Pikiran mereka bersumber dari
penglihatan dan pandangan mata batin. Pikiran ini diperuntukkan bagi
orang-orang yang dikehendaki Alloh agar kedudukan mereka semakin sempurna.
Alloh
mencintai orang-orang yang mencintaiNYA. Balasan yang Alloh berikan atas cinta
yang dipersembahkan hambanya senantiasa “turah”. Ibnu Arobi di dalam kitabnya
Misykat al-Anwar mengutip sebuah hadis qudsi,
“Alloh Ta’ala
berfirman, “AKU tergantung persangkaan hamba kepadaKU. Aku bersamanya kalau dia
mengingatKU. Kalau dia mengingatku ketika sepi, maka AKU mengingatnya ketika
sepi. Kalau dia mengingatKU di keramaian, maka AKU akan mengingatnya di
keramaian dengan cara yang lebih baik. Kalau dia mendekat sejengkal, maka AKU
akan mendekat kepadanya sehasta. Kalau dia mendekat kepadaKU sehasta, maka AKU
akan mendekatinya sedepa. Kalau dia mendatangiKU dengan berjalan, maka AKU akan
mendatanginya dengan berlari.” (Sy)
0 Komentar