Translitasi atau terjemahan pada dasarnya ada untuk
memudahkan pemahaman. Keakuratan terjemahan menjadi bagian terpenting demi
menghindari kesalahpahaman. Apalagi untuk orang yang sama sekali tidak paham
dengan makna yang sudah diterjemah tersebut.
Hal ini sesungguhnya riskan dan berpotensi
kebohongan tinggi. Syaikhuna wa Murobbi Ruhina Siddi Miftahul Luthfi Muhammad
al-Mutawakkil pernah menuturkan dalam kajian yang beliau ampu,
“Menguasai bahasa orang lain bukan untuk hal yang
aneh-aneh. Hanya agar tahu ketika ada orang membohongi kita dengan bahasa
mereka”
Potensi itu ada. Namun bukan berarti lantas
antipati terhadap terjemah. Dengan harus tetap waspada akan potensi
kesalahannya.
Hal ini seringkali digugat oleh para ulama dalam
terjemahan Al-Qur’an yang dibuat oleh Departemen agama. Banyak pemaknaan yang
kurang pas dan perlu lebih diperjelas. Sebab bagaimanapun, ruh translitasi
memiliki daya gugah pada pembaca. Susunan kata yang berbeda, meski dengan satu
inti yang sama, akan melahirkan daya gugah yang berbeda pula.
Itu pula yang saya rasakan tempo hari. Semoga ini
persepsi saya saja. Semoga saya yang salah dan tidak bisa merasakan ruh yang
terjemah yang saya baca tempo hari. Sebab saya sangat berharap, terjemahan buku
di Indonesia adalah terjemahan akurat dan sesuai dengan apa yang dituangkan
oleh penulis aslinya dalam bahasa mereka.
Ada kalimat dalam sebuah buku terjemah yang “menurut
asumsi saya” kehilangan daya gugah. Kata yang seharusnya mampu menciptakan behavior
transformation, menjadi tidak terealisasi sebab hambarnya penerjemahan.
Takdirnya, seminggu sebelum membaca buku tersebut,
saya mendapat kalimat yang sama dengan terjemahan yang berbeda dari Ustadz
Muhammad Ali Misbahul Munir yang mem-badali Syaikhuna Miftahul Luthfi
Muhammad pada kajian tafsir. Dan saya pribadi merasa bahwa terjemah dari Ustadz
Munir lebih memiliki ruh dibanding dengan terjemah yang saya baca tempo hari.
Bukan karena beliau adalah guru saya, bukan sebab itu. Sekali lagi saya ulangi,
hal tersebut adalah murni asumsi saya dari apa yang saya rasakan.
Kalimat tersebut adalah kalimat yang disampaikan
oleh Abu Ali al-Jurjani. Dalam buku tersebut tertulis.
“Jadilah kamu pencari istiqomah, bukan karomah.
Sebab, kapasitasmu itu hanyalah sekedar berusaha mencari karomah. Sementara
Tuhanmu menuntut kamu istiqomah”
Kalimat tersebut berasal dari kata bahasa arab,
كن صاحب الإستقامة, لا طالب الكرامة, فإن نفسك
متحركة في طلب الكرامة, وربك عز وجل يطالبك بلإستقامة.
Pesan yang dalam bahasa aslinya terasa tidak
tersampaikan dengan penerjemahan yang ada di atas. Sedang Ustadz Ali Misbahul
Munir dalam tulisan dengan Judul “Bismillah, Mari Istiqomah” yang dibagi pada
kajian tersebut memaknai dengan demikian.
“Jadilah engkau orang yang
istiqomah, bukan orang yang mencari karomah. Karena nafsumu senantiasa
menggerakkanmu dalam mencari karomah, sementara Tuhanmu ‘azza wa jalla
menuntutmu agar beristiqomah”
Tentulah panjenengan sudah merasa perbedaan
ruh dalam kedua terjemahan di atas. Manapun yang menurut panjenengan paling
pas, biarkan jadi kenikmatan pada diri penjenengan. Yang pasti, saya
berharap buku dan tulisan terjemahan di negeri ini tidak semakin menyesatkan
dan membohongi orang-orang yang tidak paham, serta sesuai dengan apa yang
diharapkan penulis dalam bahasa aslinya.
Salam
Möti Peacemaker
1 Komentar
Urgensi bahasa ini memang diperlukan pada zaman sekarang ini ya, Mas. Selain bisa menjembatani untuk bisa berkomunikasi bersama orang asing. Bisa juga sebagai penambah wawasan bagi kita ini.
BalasHapus