Berawal
dari sebuah perjalanan bapak yang mencari nafkah untuk anaknya yang kuliah di
suatu universitas. Sebut saja nama bapak ini Sujono. Beliau ini bekerja menjadi
buruh panggul di sebuah toko beras, tepung, dan minyak. Pokoknya di toko
sembakolah. Tiba-tiba perasaan saya mengarah kepada bapak itu. Mulailah
saya mendekat ke pada beliau dan duduk di samping beliau yang sedang santai
sambil menikmati secangkir kopi dan rokok samsunya. Ketika saya hendak
duduk di samping beliau, beliau langsung menyapa saya dan mempersilahkan untuk
ngopi bareng. Dengan senang hati saya di sambut bapak ini yang awal mulanya
saya sendiri yang ingin duduk di tempat itu. Mulailah kami saling berjabat
tangan untuk memulai perbincangan yang tidak direncanakan ini. Yah,
namanya di jalan kita harus sok kenal sok dekat untuk mencari teman dan
bertukar wawasan. begitulah cekak ceritanya perjumpaan saya dengan bapak
itu.
Mulailah
saya mengeluarkan pertanyaan kepada bapak tersebut ‘’njenengan asli mriki to
pak?’’. Dengan santai aku bertanya dan beliau menjawab ‘’ora le, aku
asli malang. Nang kene aku nyambut gawe, gae mbandani anakku sekolah ben ora
koyok bapak e sing nyambut gawene abot’’ Bapak itu balik bertanya ke saya
‘’lah
sampean isih sekolah opo wes nyambut gawe le?’’
“kulo
tasek pengangguran, pak’’ jaawabku.
Lalu
sang bapak bergumam, “Lha jaman koyok ngene kok pengganggurn to le, tiwas
ape tak olehne anakku tibakno awakmu kok penggangguran yo gak sido le‘’
“Hahahahahahah,
njenengan saged mawon pak” Malam semakin larut, perbincangan kita berdua
semakin asyik dan seru. Apalagi ada kopinya yang menambah suasana lebih enjoy.
Pada
awalnya saya tidak berpikir macam-macam tentang bapak ini, hanya sekedar ingin
nongkrong bersama. Tak lama kemudian si bapak murung entah kenapa, saya yang
duduk disampingya dan menemani dari tadi merasa tak enak hati barangkali ada
perkataanku yang membuat si bapak murung. Dan aku tanya ‘’kenapa pak kok
tiba-tiba njenengan terdiam? Apa ada salah kata ketika aku bersenda gurau
dengan njenengan?
‘’Tidak
ada apa-apa, le. Aku mung eling karo bojo lan anakku nang ndeso’’
“Oalah
pak tak kiro ono opo”
“Ora
kok le , dadi awakmu penak yo le, penggangguran ora ngurusi opo-opo paling kowe
iki anak e wong sugeh, tak delok-delok kok santai temen ngono, sepedah e apik,
hpne apik, pakaiane apik’’ bapak tersebut berpikiran seperti itu kepada
saya, lalu saya tertawa terbahak tak henti, sambil berkata “matur suwun”,
wes di do’akan seperti itu pak.
Jawab
bapak ‘’ngopo kowe ngguyu le , sempel yo ?”
Tambah
kencang saya tertawa dan akhirnya berhenti sejenak.
Dan
kemudian saya menceritakan tentang saya kepada bapak tersebut, “Sebenarnya
semua ini hanya pinjaman pak, ben ketok apik lan gagah, hehehehe, semua
sepedah sama hp juga di pinjami pak. Tinggal bagaimana kita menjaga kepercayaan
yang meminjami pak”.
Waktu
itu malam semakin larut dan obrolan kita berdua semakin panjang tiada henti
sepertinya, dan kutengok jam sudah menunjukkan pukul 12 malam sudah tengah
malam menjelang pagi. Sambil menikmati hidangan kopi yang manis kepahit-pahitan
yang pas sekali seleranya dengan apa yang saya idamkan, dan suasana begitu
mendukung untuk berbincang-bincang meskipun sampai larut pagi
sepertinya saya krasan.
Saya
kembali pada awal pertanyaan yang soal anaknya tersebut. Tiba-tiba saya
penasaran tentang anak yang dijodohkan sama saya. Tapi saya tidak mengharapkan,
lo ya. Namanya aja di jalan, pastilah mencari-cari bahan untuk
diobrolkan biar tambah akrab tentunya, hehehehe.
Awal
mulanya sih canggung untuk menanyakan hal tersebut. Tapi untuk mencari
bahan obrolan, kita harus bisa aja untuk melakuakan sebuah pertanyaan yah
seperti waratawnlah, yang selalu ada pertanyaan kepada kliennya. Saya pun harus
mengatur kata-kata agar dalam pertanyaanku tidak menyinggung perasaan bapak
tersebut. Dengan pelan-pelan mulailah aku masuk pertanyaan yang menjurus kepada
anaknya. Awalnya saya bertanya tentang kuliah anaknya di mana dan ambil
fakultas apa, begitulah.
‘’ngapunten pak yugane njenengan niku asmanipun sinten nggih’’
“anakku jenenge lia le , ono opo to le kok moro-moro takok
anakku”.
‘’mboten
nopo-nopo pak namun pingin ngerti pak’’
“kok sawangane awakmu penasaran to le, ketok nek awakmu iki
jomblo” Kata bapak itu
sambil tertawa. Dan bapak itu bilang ‘’anakku iki le tak bandani tenanan
mung anak siji-sijine kudu dadi wong seng sukses, ben ora rekoso koyok bapak’e.
Tak ewangi nyambut gae koyo ngene mung gae anakku lan bojoku”.
Tanpa
aku harus bertanya banyak, bapak tersebut sudah menceritakann tentang kehidupan
dan keluarganya. Katanya sih buat wawasan aku aja, biar biar besok kalau
sudah berkeluarga tau betapa pentingnya keluarga. Bapak ini bercerita panjang
lebar ceritanya tersebut hampir membuat hatiku luluh, betapa mengharukan
perjalanannya demi seorang anak. Beliau ini bekerja menjadi buruh panggul
mendapat gaji yang tak sewajarnya di bandingkan dengan apa yang diangkatnya
setiap hari. Beliau sehari memanggul bahan sembako sebanyak 4 ton setiap hari,
namun gajinya hanya mendapat 300 ribu per minggu itu pun belum di gunakan untuk
keperluan makan, ngopi dan rokoknya. Meskipun pekerjaan beliau sangat berat,
beliau tidak lupa dengan sholatnya waktunya. “Sholat ya sholat waktunya
kerja, ya kerja” begitu katanya. Disutulah beliau bersyukur meskipun
dengan gaji segitu namun dengan kerja kerasnya tersebut bisa membiayai
anaknya sekolah sampai S1 dan sekarang mau melanjutkan ke S2. Dengan rasa
syukur beliau melakukan pekerjaan dengan senang karena melihat anaknya bisa
sekolah sampai sekarang dan meneruskannya.
Betapa
sabar bapak tersebut melakukan itu semua. Apakah kita semua sudah memikirkan
betapa kerasnya pekerjaan orang tua kita masing-masing? Apakah kita sudah
merasa bersyukur atas apa yang di berikan oleh orang tua kita? Apakah kita
sudah membalas semua apa yang dilakukan oleh orang tua kita? Terkadang kita
kurang puas apa yang sudah di berikan oleh orang tua kita. Saya sendiripun
kadang kurang puas apa yang sudah diberi orang tua kepada saya. Samapai begitu
beratnya apa yang sudah di korbankan orang tua kita. Yah, semua itu
hanya renungan sesaat. Ya, mungkin.
Tak
terasa hari menjelang pagi dan suara adzan sudah berkumandang. Selesailah
berbincangan kita berdua dan saya pamit untuk pulang dan bapak itu sepertinya
juga mulai mengantuk. Banyak hal yang saya pelajari dari bapak tersebut dari
segi pengalaman, dari segi kesabaran dan dari segi kesyukuran nikmat.
Semoga
Bermanfaat
0 Komentar