
Sudah
sering dikritik oleh para Ulama tentang Ibadah haji yang seringkali mencecerkan
praktik sentral dalam berislam. Persadauraan, kerukunan, ietsar dan
masih banyak praktik-praktik sentral lain yang harus tergadaikan demi kepuasaan
beribadah –dalam hal ini Ibadah haji, red-.
Soal
Hajar Aswad, misalnya. Banyak orang “bernafsu” untuk mencium hajar aswad dan
rela berdesak-desakkan, berusaha sekuat tenaga untuk menjadi yang terdepan,
menyikut yang kanan, menyikat yang kiri, untuk bisa mencium batu yang dulu
sahabat Umar saja enggan menciumnya, jika Rosululloh tidak menciumnya.
Kabar
baiknya, sahabat Umar tidak sampai berdesak-desakkan dan menyikut saudaranya
sendiri. Dan barangkali, jika kondisi saat itu seperti sekarang. Sepertinya
sahabat Umar kok ndak akan sampai ngemeno untuk menyikut
saudaranya demi mencium batu itu. Masih banyak alternatif lain yang bisa
dijalankan untuk mengikuti jejak Rosulullah dalam “bertuhan”.
Jadi
apakah tidak penting lagi penghormatan kepada saudara seiman dan menjaga
kerukunan demi Ibadah personal? Seperti yang didawuhkan oleh Syaikh Murobbi
Ruhina Miftahul Luthfi Muhammad, bahwa jangan sampai kita beribadah
diajak oleh hawa nafsu, tapi ajaklah hawa nafsu untuk beribadah. Dan
ibadah personal tanpa mengindahkan ibadah sosial sangat potensial berangkat
dari nafsu yang mengajak beribadah. Dan jelas, praktik mencium Hajar Aswad ini
telah membutakan mata kita bersama tentang pentingnya ietsar dan menjaga diri
dari egoisme beribadah.
Apakah
dosa jika misalnya kita tidak mencium Hajar Aswad untuk menghindari terjadinya
desak-desakan yang mengakitbatkan aksi sikut-sikutan antar saudara?
Penulis
kira, Ibadah seperti ini juga soal “rasa” dalam beribadah. Lambaikan tangan
dari jauh dengan hati paling khusyuk, lantas kita haturkan rasa hormat dan
cinta kepada batu yang pernah merasakan ciuman dari kekasih Alloh itu, lalu
lirihkan rasamu padanya, “Hatiku mewakilkan bibirku untuk datang menciummu.
Andaikan tidak karena aku mencintai saudaraku, dan memilih untuk tidak menyikut
dan menyikat mereka, umat dari sosok mulia yang dulu menciummu, tentulah aku
datang padamu dengan hati dan bibirku untuk menciummu. Tapi cukuplah hatiku
datang padamu, dan aku titipkan ciumanku di bibir-bibir saudaraku”,
misalnya.
Dan
toh mencium Hajar Bukan suatu keharusan yang harus dilakukan. Apalagi jika
ciumannya penuh tendensi. “Biar nanti bisa diceritkan ke tetangga”, misalnya.
Sekali lagi, misalnya. Maka memilih untuk menjaga situasi tetap kondusif dengan
tidak ikut berjejal, barangkali tidak lebih buruk.
Dan
tragedi Mina yang hingga tulisan ini selesai mencapai 310 orang karena
terinjak. Hal tersebut juga tidak lepas dari egoisme beribadah. Jumlah tersebut
bukanlah jumlah yang sedikit. Apalagi ini soal nyawa. Menurut penuturan yang
disampaikan oleh kabarmekkah.com, insiden tersebut terjadi sebab saling
berjejal dan berebut ingin segera melempar lebih awal setelah mabit di
Muzdalifah.
Dituturkan
oleh Pak Yunus, jama’ah Haji yang berangkat beberapa tahun lalu, bahwa
antusiasme mereka saat melempar Jumroh memang luar biasa. Biasanya jamaah
Indonesia disarankan dan sangat ditekankan untuk berangkat setelah dhuhur.
Sebab pada waktu dhuha. Kepadatan tidak terbendung. Bahkan ada yang mengatakan
bahwa melaksanakan jumroh harus sudah siap-siap dengan nyawa yang berpotensi melayang
karena berdesak-desakkan di tengah-tengah sedemikian banyak orang.
“Saat
kondisi sedemikian tidak kondusif, masih ada saja orang yang bertingkah dan
berlaku jail” Kata bapak 3 putra itu.
“Di
dalam terowongan perjalanan jumroh Aqobah itu masih sempat ada orang yang
melempar sandal, kopyah ke blower yang berfungsi menyejukkan para jama’ah yang
berjejal. Bahkan ada juga yang saling dorong dan kencing sembarangan,”
Dari
insiden itu, setidaknya kita harus semakin membuka mata kita dan menyadari
betapa egoisme bukan hanya melukai, tapi juga membunuh. Ini menjadi pelajaran
untuk semakin memahami betapa pentingnya Ibadah Personal dan Ibadah Sosial yang
harus dijalankan saling beriringan.
Salam
0 Komentar