Waktu telah sampai di ujung senja dan memasuki
putaran awal malam hari. Orang jawa biasa menyebutnya waktu surup.
Markasan tak ada kegiatan apapun waktu itu. Toh ia memang dari dulu sampai
sekarang, atau bahkan sampai akhir jaman nanti, ia tetap seorang pengangguran
sukses. Tak punya pekerjaan, namun setiap hari tetap makan dan tak pernah
kelaparan. Ia telah di doktrin sejak kecil, bahwa ketika manusia masih ditakdirkan
Tuhan untuk hidup, pasti IA bertanggung jawab akan segala fasilitas yang
dibutuhkan untuk hidup. Termasuk makanan, minuman, pakaian dan sebagainya.
Namun, untuk sore ini, Markasan benar-benar tak
memiliki sesuatupun untuk makan malam. Tak ada nasi, apalagi lauk. Adanya hanya
air sumur dan sandal jepit, kalau ia doyan.
Ia duduk di teras rumah seperti biasanya. Tak ada
rokok dan tak ada kopi seperti hari-hari sebelumnya. Terlihat, mulutnya umik-umik.
Seperti dukun yang sedang baca mantra. Atau lebih mirip dengan kiai yang hendak
nyuwuk seseorang. Entah apa sebenarnya yang ia baca. Mungkin semacam
wirid pengundang rizeki. Namun, sepertinya ia salah sasaran. Yang datang bukan
rizeki, tetapi penarik rizeki yang acap kali merampas rizekinya. Siapa lagi kalau
bukan tetangganya, Markusen.
“San, tak adakah sesuatu yang bisa kau suguhkan
untukku?” Ucap Markasan yang baru datang dan terlihat pucat pasi raut wajahnya.
“Ini, ada.” Enteng saja jawab Markasan, sambil
menodohkan sandal ke muka Markasan.
“Kau jangan main-main! Aku benar-benar kelaparan
sore ini. Di rumah tak ada makanan sama sekali. Ayah dan Ibuku pergi keluar
kota. Mereka lupa tak menyediakan makan malam. Bahkan mereka juga tak memberiku
uang jajan.” Markusen mengeluh.
“Cuk! Muanja raimu!!!”
*****
Markusen memang sering kali dimanjakan oleh
orangtuanya. Sedangkan di sisi lain, Markasan adalah antonimnya. Ia hidup
sendiri sejak SMP. Kedua orangtuanya telah tiada. Saudara-saudaranya memiliki
pemikiran yang sama sekali berbeda dengannya, sehingga membuatnya harus nyempal,
minggat dari desa ke kota untuk melanjutkan perjalanan hidupnya yang
akan berakhir entah sampai kapan.
Hari semakin gelap, dan mereka berdua belum juga
memadamkan kelaparan yang membakar perut mereka. Ketika Markasan lebih memilih
untuk diam dan melanjutkan umik-umiknya, Markusen pamit hendak pulang.
Baru saja ia masukkan kaki kirinya ke dalam sandal, ia melihat seorang
berpakaian rapi dan membawa banyak barang bawaan berjalan ke rumah Markasan.
Markusen tak jadi pulang. Siapa tahu kalau ternyata Markasan itu benar-benar
orang sakti yang dapat memanggil seeseorang untuk membawakannya sesuatu dengan
hanya umik-umik madep ngulon. Ia pun duduk kembali di samping Markasan
dan menunggu tamu tersebut masuk.
“Pulanglah! Dan jangan datang kesini lagi!” Bentak
Markasan kepada calon tamu berpakaian rapi itu. Ia pun berbalik arah, tak jadi
bertamu. Ia bergegas lari menuju mobil yang diparkirkannya di seberang jalan
dengan membawa teksture wajah seperti orang yang rahasianya dibocorkan.
Markusen ndomblong. Bayangannya tentang isi
dari barang bawaan calon tamu tadi musnah seketika dengan tanpa sebab yang
jelas kenapa Markasan malah mengusir rizeki yang datang kepadanya. Sebelum ia
mengintrogasi Markasan atas perbuatannya itu, seorang pengemis datang. Dengan
pakaian compang-camping, tubuh kurus, wajah pucat, dan perut kempes.
Markasan langsung menyambutnya dan mempersilahkan
pengemis itu masuk ke dalam rumah. Ia juga meminta kepada Markusen agar
menemani tamu tersebut di dalam. Sedangkan ia sendiri pergi keluar untuk
mencari makanan di warung-warung kecil yang sekiranya warung itu menerima bon,
atau hutang. Markusen tak habis pikir tentang apa yang dilakukan sahabatnya
itu. Tamu yang membawa banyak barang bawaan ia usir, lalu malah menyambut
pengemis layaknya tamu kepresidenan. Bahkan ia sampai rela hutang untuk
mencarikan makan pengemis itu. Dan yang lebih buruk lagi, Markusen yang disuruh
menemani pengemis itu, hanya ber-empat mata.
Beberapa menit kemudian, Markasan datang dengan
membawa tiga nasi bungkus dan satu teko kecil teh hangat.
“Alhamdulillah...” Ucap Markusen dengan penuh
syukur sekaligus menghapus keterpaksaan yang beberapa menit lalu menyelimuti
wajahnya.
Pemandangan indah terlihat ketika tiga orang
kelaparan makan bersama. Kebersamaan dalam kesederhanaan yang realis. Segala
unek-unek Markusen juga telah menjadi abu tatkala ia menyantap nasi bungkus
yang ada di hadapannya. Namun unek-unek itu kembali kepermukaan ketika makan
malam usai, si pengemis pulang dengan membawa uang, pakaian, dan beberapa sisa
lauk, hasil hutang Markasan dari beberapa tetangganya.
“Kau mengusir tamu pertama lengkap dengan segala
barang bawaannya? Lalu menyambut pengemis dan mempersilahkannya masuk layaknya
tamu istimewa? Bahkan kau sampai rela hutang untuknya? Kau masih waras kan,
San?” Ungkap Markusen sambil memegang kening Markasan, ternyata keningnya biasa
saja. Tidak panas.
“Mengantisipasi kekafiran adalah hal yang sangat
penting. Kau harus tahu itu!” Tutur Markasan.
“Memangnya siapa yang hendak murtad?” Markusen
keheranan.
“Pengemis yang datang tadi derajatnya bukan lagi
miskin, namun sudah fakir. Artinya, ia tak memiliki apapun untuk bekal hidup
hari ini. Sedangkan tamu necis pertama tadi, adalah salah seorang takmir
gereja tertentu yang bertugas membabtis orang-orang kelas bawah. Aku pernah
melihatnya sekali di media sosial.”
“Lantas, apa relevansinya, tamu necis, pengemis,
dan antisipasi kekafiran yang kau bicarakan itu?”
“Ada banyak hal di dunia yang telah sampai pada
usia senja ini, yang dapat memutar balikkan kepercayaan seseorang dalam
beragama. Entah itu berupa faktor intern maupun faktor ekstern. Namun kedua
faktor tersebut memiliki relasi yang kuat. Faktor intern dapat mendukung faktor
ekstern dan begitu juga sebaliknya. Dan salah satu contoh dari kedua faktor itu
adalah tingkat kefakiran seseorang.
“Kefakiran adalah faktor intern yang dapat
mengundang faktor ekstern. Dan ketika kedua faktor itu bertemu, maka ‘berganti
kepercayaan’ bukan hal yang tak mungkin lagi. Semisal contoh: dalam suatu
perkampungan yang mayoritas dimukimi oleh orang-orang yang tingkat
perekonomiannya sangat rendah, banyak di antara mereka yang memiliki fisik
kurang sempurna dan berpenyakit, ada bantuan yang datang ke kampung tersebut
dari suatu gereja tertentu. Bantuan itu berupa makanan, minuman, pakaian, dan
obat-obatan. Mereka dengan senang hati menerima bantuan itu dan bersedia
mengikuti apapun yang diperintahkan oleh pihak pemberi bantuan. Apapun, bahkan
dalam hal berpindah agama pun mereka mau. Mereka berasumsi bahwa ternyata masih
ada juga orang yang peduli terhadap mereka. Dan mereka menganggap kepedulian
itu sebagai wujud kebaikan, lalu mereka mengikuti apa yang mereka anggap baik
itu. Kalau sudah seperti demikian, siapa yang salah coba? Namun kita hidup di
dunia ini bukan untuk mencari kesalahan orang lain, tetapi untuk selalu
berbenah agar mengetahui keberanan yang sebenarnya, yang bukan hanya bersumber
dari prasangka.”
Markusen mengangguk-angguk setelah mendengar
ceramah Markasan. Ia mulai paham dan membenarkan apa yang telah dilakukan oleh
sahabatnya itu. Walaupun sebelumnya, ia merasa aneh dan cenderung menyalahkan
Markasan. Ia sangat bersyukur karena Markasan bersedia menjelaskan apa yang
sebenarnya ia lakukan tadi. Dan syukur-syukur yang lebih besar lagi, karena
Markasan bersedia memberinya makan malam. Walaupun hutang, yang penting, alhamdulillah,
kenyang.
0 Komentar