Akan saya
tulis sebuah kisah tentang sebuah perjalanan. Perjalanan di mana banyak
melibatkan alam sekitar. Alam sekitar melihat, merasa, dan menyaksikan kalau
kita sedang berada di sekitarnya. Meminjam bahasanya John De Rantau, dia
menggambarkan alam dengan mestakung-nya, maksudnya dalah semesta mendukung.
Alam, segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan Sang Mahapencipta, baik yang
hidup atau yang tak hidup dan yang mati. Kenapa saya katakan yang “tak hidup”,
sebab menurut guru biologi sewaktu saya SMP dulu, benda yang mati dan yang tak
hidup itu berbeda. Benda mati itu sebelumnya melalui proses hidup terlebih
dahulu. Sementara benda tak hidup itu dari awalnya memang sudah tak hidup, maka
tidak bisa dikatakan benda mati. Tentunya yang disebut hidup, tak hidup dan
mati itu dikategorikan sebagaimana hidup dengan pernafasan.
Di antara
benda hidup itu adalah yang bernafas seperti manusia dan hewan. Entah jika itu
makhluk ghaib, apakah bisa dikategorikan sebagai benda hidup. Tetapi yang saya
tahu, masih belum pernah ada dalam pelajaran biologi yang membicarakan tentang
jin, setan, iblis dan malaikat. Itu yang saya tahu, tidak tahu kalau di
antara pembaca ada yang mengetahuinya. Jika iya, tolong beri tahu saya ya..!
Sedangkan benda yang tak hidup dikategorikan sebagai suatu benda yang ada di
dunia ini tetapi tidan bernafas, misal pepohonan, rumput, dan benda-benda yang
tak bernafas lainnya. Sementara benda mati itu sendiri adalah suatu benda yang
awalnya hidup kemudian mati. Baik itu yang bernafas atau pun tidak, misal
burung yang sudah tidak bernafas lagi dan kayu yang sudah ditebang. Tetapi ada
yang janggal di sini, jika melihat difinisi dari ketiga kategori benda di atas,
benda mati itu berawal dari suatu benda yang hidup sementara kayu itu termasuk
benda yang tak hidup. Maka jika seperti itu, kayu dan semacamnya yang tak
bernafas itu bukan benda yang tak hidup, tetapi sebaliknya dia benda hidup.
Namun jika kayu yang sudah ditebang itu tidak disebut benda mati, lalu mau
disebut benda apa? Mungkin bisa jadi kayu itu sudah berbentuk kursi, meja dan
sebagainya. Ah, bingung ya? Sama, saya juga bingung. Hehe
Agar tidak
terlalu bingung--bagi yang merasa bingung, kita kembali pada sebuah perjalanan
tadi. Kemanapun kita melangkah dan dimanapun jejak kaki kita tinggalkan, alam
sekitarnya akan menyaksikan semuanya. Kita menjejakkan kaki di atas air
sekalipun, seumpama kita menganggap kaki kita tidak meninggalkan jejak, itupun
akan menjadi saksi bagi kita. Atau di antara kita ada yang bisa terbang, kita
berjalan di atas angin, lalu kemudian itu dianggap tidak meninggalkan jejak,
jangan lupa kalau angin itupun bagian dari alam. Angin memang tak terlihat,
tetapi angin bisa kita rasakan. Dan jika angin bisa kita rasakan, berarti angin
juga bisa merasakan kehadiran kita di sekitarnya. Maka dari itu, angin juga
bisa menjadi saksi langkah kita. Bukankah setiap kali kita bernafas, di situ
ada angin yang keluar masuk. Meskipun tidak berati pula nafas kita itu adalah
angin. Hanya saja ketika kita bernafas, disitulah ada sesuatu yang dapat
dirasakan seperti angin. Entah apa istilah dari angin yang keluar masuk ketika
kita bernafas tersebut. Saya tidak akan membahas hal itu.
Tidak hanya
itu saja. Pohon, binatang, bumi, awan, mendung dan langit akan menjadi saksi
jejak langkah kita itu. Bahkan makhluk ghaib pun akan menyaksikan kita. Dan
persaksian itu akan tercatat selamanya jika kita tidak menghapusnya. Bisakah
catatan itu dihapus? Bisa atau tidaknya, saya kira bisa ya! Tetapi bagaimana
cara menghilangkan catatan yang ada pada angin, sementara kita hanya mampu
merasakan angin tanpa mengetahui angin yang mana yang telah mencatat jejak
langkah kita? Oke, kalau pun kita akan menghapus catatan yang ada pada angin,
bagaimana kita memintanya, apakah kita sudah mengenal angin sementara untuk
melihatnya saja kita tak bisa? Duh, angin.... angin.. selalu saja saya membahas
tentang angin yang tak saya ketahui wujudnya. Sedangkan kini saya berada di
bawah pohon jambu, sementara sejak tadi saya tak sedikitpun menyinggungnya.
Padahal sejak tadi pula saya bersandar di pundaknya. Tiba-tiba ada yang hinggap
dibahu saya, hangat dan agak basah, eh seekor burung kutilang pasti sudah
kekenyangan dari tadi memakan buah jambu sehingga ampasnya sidikit dibuang
lewat belakang dan mengenai bahu saya. Hemmm..
Sungguh
perjalanan ini penuh dengan kejutan. Di sekitar kita sangat banyak yang
memperhatikan kita. Ketika kita mengira kalau batu yang kita injak itu melihat
kita, bisa saja kita lupa kalau rumput disekitarnya juga memperhatikan. Ketika
kita beralih pandang pada rerumput, ada lalat yang mengangetkan dan tiba-tiba
melintas di depan mata kita. Meskipun kita sebagai makhluk yang diciptakan
dengan adanya pikiran, bukan berarti kita mampu memikirkan semua yang ada di
sekitar kita. Maka janganlah kita sok-sokan dan menganggap kita paling
sempurna, meskipun ada jaminan kita menjadi makhluk yang sempurna. Tetapi
jangan lupa bahwa kita juga masih berpeluang untuk menjadi makhluk yang paling
hina.
Kenapa alam
sekitar kita bisa melihat, merasa dan menyaksikan jejak kita. Itu karena,
menurut guru saya, semua makhluk di dunia ini diciptakan oleh Sang Mahapencipta
dengan dilengkapi DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) dan semua yang memiliki DNA akan dapat berkomunikasi. Masak iya
manusia dan hewan atau tumbuhan bisa berkomunikasi. Bisa jadi iya, bisa jadi
tidak. Semuanya tergantung bagaimana kita menyikapinya. Jika berkomunikasi
antara manusia dengan hewan atau menusia dengan tumbuhan itu mungkin, jangan
bayangkan kalau kita itu dapat berbincang-bincang dengan berbahasa arob atau
bahasa inggris dengannya.
Secara umum,
komunikasi itu bisa terjadi, yang berperan aktif adalah -Pilihan Kata,
-Intonasi, dan –Bahasa Tubuh. Hal yang paling dasar dalam bahasa itu adalah
getaran atau bahasa kerennya disebut vibrasi. Entah itu memang benar bahasa
keren atau saya yang mengada-ada. Lalu bagaimana manusia berkomunikasi dengan
hewan dan tumbuhan? Sangat bisa jika kita mengasah kemampuan kita. Karena
kenapa? Karena alam semesta ini ada satu medan energi yang disebut “Pikiran
Alam Semesta”, dalam bahasa kerennya, ceye bahasa keren lagi, atau dalam bahasa
psikology disebut “Universal Conciousness” atau dalam istilah biologinya
adalah “Morphogenetic Field” pada medan energi inilah semua makhluk hidup bisa
terhubung dan bahkan berkomunikasi satu-sama lain.
Nah, sekarang
apakah kita dapat merasakan bahwa mereka dapat berkomunikasi dengan kita?
Apakah kita perlu mempelajari terlebih dahulu istilah-istilah keren yang saya
sebut tadi untuk berkomunikasi dengan makhluk lain? Sebenarnya itu bukan hal
penting, kita kembali pada ‘rasa’ atau kemampuan ‘perasa’ kita. Banyak
sesepuh-sesepuh kita dahulu yang mampu berkomunikasi dengan hewan, dengan
angin, dengan hujan -- bahkan sampai sekarang ada yang menjadi pawang hujan,
itu bisa saja terjadi. Dengan itu semua berarti tidak begitu diperlukan lah
yang namanya istilah-istilah yang sulit kita pahami tersebut. Yang pasti
manusia bisa berkomunikasi dengan hewan dan tumbuhan. Dengan komunikasi itulah,
kesaksian-kesaksian mereka akan tercatat. Itu jika kita tidak menghapusnya.
Lalu bagaimana
caranya untuk menghapus catatan-catatan tersebut. Mungkin bahasanya tidak
menghapus ya, tetapi saya coba ibaratkan dengan tulisan di atas kertas. Jika
kita menulis dengan bolpoin, akan sangat sulit menghapusnya, namun ada jalan
untuk menutupinya yaitu dengan cara memberi olesan tipe x di atas tulisan itu.
Kemudian baagaimana jejak langkah yang baik dan yang buruk itu dihapus atau
ditutupi. Sangat bisa! Catatan jejak kita yang buruk, bisa kita tutup dengan
tipe x penyesalan dan menjauhi jejak yang buruk-buruk itu seraya menyulam
kembali jejak-jejak langkah yang lebih baik. Nah, kemudian bagaimana cara
menghapus atau menutupi jejak langkah kita yang baik? Ini malah yang sangat
mudah, jika jejak baik kita iringi dengan rasa angkuh dan sombong, secara
otomatis jejak kebaikan itu akan terhapus. Mungkin bahkan tak akan tercatat
sama sekali, tetapi yang akan tercatat adalah kesombongan dan keangkuhannya.
Begitulah
perjalan kita di lingkungan alam semesta ini. Kemanapun kita melangkah,
semuanya akan ada yang menyaksikan. Maka akan rugi perjalan kita itu jika
menorehkan jejak yang buruk.
Yang terakhir,
silahkan bagi pembaca simpulkan catatan perjalan yang saya tulis ini, sebab
saya sendiri yang menulis catatan ini tak bisa menyimpulkan. Terima kasih dan
mohon ma’af. :D
Graha Ekolistik Surabaya, Januari 2016
0 Komentar