Selalu saja ada hal baru dalam kehidupan
teman kita yang satu ini, Markasan. Ia baru saja sampai di rumah setelah pergi
ke luar kota sampai 3 hari lamanya. Entah apa yang ia lakukan, itu tak penting.
Yang terpenting adalah ketika ia pulang jangan sampai ia lupa tak membawa
oleh-oleh untuk sahabatnya, Markusen. Atau kalau sampai ia lupa, maka Markusen
akan menyuruhnya kembali ke luar kota hanya untuk membeli oleh-oleh, lalu balik
lagi ke rumah secepatnya.
Tepat pukul 10.00, Markasan menginjakkan
kakinya di pelataran rumah. Hal tersebut tak luput dari pendengaran Markusen
yang sudah siap siaga menanti sahabatnya itu sejak dua jam yang lalu. Ketika
teksture wajah Markasan benar-benar tampak jelas dalam sorotan mata Markusen,
ia bergegas lari ke luar untuk menumpahkan rindu yang tertahan selama 3 hari.
Namun, sepertinya ada yang aneh dari
sikap Markusen. Baru beberapa jengkal ia keluar rumah, ia bergegas kembali
masuk dan langsung stempoh. Entah apa gerangan yang membuatnya
sedemikian itu. Markasan keheranan. Namun ia juga tak dapat berlari untuk
sesegera mungkin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Markusen, lantaran
barang yang dibawanya terlalu banyak. Ia justru malah melihat dirinya
sendiri. Apakah ada yang salah dari tampilannya sehingga membuat Markusen ogah
untuk melihatnya. Ia juga mencium-cium aroma ketiaknya sendiri. Barangkali, bau
ketiak itu sedemikian menyengat sampai membuat Markusen klenger.
“Kau kenapa, Sen?” Tanya Markasan ketika
ia telah sampai di dalam rumah yang telah tiga hari dijaga sahabatnya itu.
“Embuh...” Jawabnya singkat.
“Loh, kok embuh?”
“Mungkin terlalu silau. Tak ada yang bisa
kulihat selain warna putih yang menggelapkan.” Jawab Markusen sok puitis.
“Warna putih yang menggelapkan bagaimana
maksudmu?”
“Hanya putih yang terlihat. Semua warna
tenggelam dalam putih. Itulah, putih yang menggelapkan. Silau, dan aku tak kuat
menahannya.”
Silaunya pandangan Markusen yang
membuatnya tak jadi menjemput Markasan di depan rumah itu, setelah Markasan
melakukan introgasi sampai berjam-jam lamanya, akhirnya terkuak kedoknya.
Ketika Markasan keluar kota, karena rumahnya akan suwung jika tak ada
penghuninya sama sekali, maka Markusen pun menawarkan diri untuk menjaga rumah
Markasan via telepon. Markasan menyambut tawaran itu dengan senang hati dan
memberi tahu Markasen kalau kunci pintu rumahnya ada di bawah keset di samping
rak sandal. Dan selama tiga hari itu, Markusen sama seklai tak beranjak keluar
rumah. Ia hanya duduk termangu, menunggu sahabatnya pulang.
“Kalau memang seperti itu, ya wajar saja
jika pandanganmu silau. Terlalu lama dalam kegelapan akan membuatmu silau
ketika melihat cahaya.” Tutur Markasan.
Memang seperti itulah realitasnya. Apa
yang dituturkan Markasan memang benar dan telah terbukti kebenarannya. Markusen
yang mengurung diri selama tiga hari di dalam rumah dan terhijab pandangannya
dari cahaya luar selama tiga hari pula, membuatnya silau ketika melihat
terangnya cahaya luar dan tendensinya akan berujung pada kembali dalam
kegelapan, alias masuk kembali ke dalam rumah.
Orang yang terlalu asyik berlalu-lalang
dalam kegelapan, merasa nyaman di dalamnya dan enggan untuk menilik setitik
cahaya yang banyak terpancar di luar sana, matanya akan silau ketika ia melihat
cahaya itu. Sehingga mayoritas pecandu kegelapan akan lari menjauh dari cahaya
ketika ia melihatnya terlalu terang dan menyilaukan pandangan.
Seyogyanya, manusia itu lebih sering
berada di dalam cahaya. Sering, bukan berarti selalu. Kalau selalu berada dalam
cahaya, maka seseorang akan menjauh ketika ia melihat ada kegelapan. Jika ia
yang terbiasa dalam cahaya menjauhi setiap yang gelap, maka siapa lagi yang
dapat mencahayai kegelapan itu? Dan jika kegelapan itu tak segera
ditanggulangi, maka wilayah kegelapan itu dikhawatirkan akan semakin luas dan
melahap area-area yang dulunya di dalam cahaya. Klimaksnya, akan semakin banyak
orang yang betah di dalam kegelapan karena terlalu dimanja di dalamnya dan
merasa ogah jika harus keluar untuk mengintip setitik cahaya yang akan
menyilaukan pandangannya.
“Bukan apa-apa, tapi kau jangan terlalu
sering menyendiri ataupun beramai-ramai dalam kegelapan. Atau kau akan semakin
menghijab diri dari cahaya.” Ungkap Markasan kepada Markusen yang masih stempoh.
“Enggih, ndorooo...”
0 Komentar