Tidak bisa dipungkiri bahwa perlawanan rakyat dalam
gerakan 10 November 1945 yang dinisbatkan sebagai hari pahlawan, tidak lepas
dengan hasil keputusan konsul ulama' yang menghasilkan Resolusi Jihad pada 23
Oktober 1945. Allohu akbar mendominasi mulut para pejuang
(selain Dancok sebagai trade make Suroboyo yang juga tidak lupa berpartisipasi
dalam pengusiran tentara NICA di hari ke 85 merdekanya bangsa Indonesia).
Perlawanan tersebut menjadik wujud nyata
perjuangan yang tidak bisa disingkirkan. Perlawanan yang masif dari umat
islam yang dibakar jiwa nasionalismenya oleh para Ulama'. Hal tersebut
sesungguhnya pelajaran berharga sekaligus cermin untuk umat dan ulama' masa
kini.
Cermin pertama, adalah bahwa tidak semua yang
dijadikan landasan berpikir para ulama adalah hal yang bersifat pure agama.
Ulama tidak menggunakan akal sarkasme dan stigma berpikiran
yang stagnan dengan hanya bicara surga-neraka, malaikat-iblis,
syirik dan Tuhan, bid'ah-sunnah. Tapi kecerdasan mengolah problematika sebagai
suatu alat untuk menghidupkan jiwa beragama bagi mereka yang, barangkali
sesungguhnya bukan penganut agama islam yang patuh. Akan tetapi mampu
mengungkit naluri kepemilikan terhadap agama yang dipeluk tetap sebagai
suatu hal yang sakral untuk dibela. Surga di depan mata untuk mereka yang maju
dan berjuang membela tanah air. Resolusi jihad membuahkan satu frame
berpikir yang heroik dan membara. Buah pikir arif yang melahirkan
sebuah ijtihad cinta bangsa yang barangkali sulit dicari dalam kitab kuning
sebagai pegangan umum para kiai. Tapi kecerdasan ijtihad dalam mengaitkan
pengetahuan menghasilkan kebijakan populis, tanpa bertentangan dengan syari'at.
Kedua adalah kecedasan ulama' dalam mengambil peran
perjuangan. Kepedulian terhadap problematika umat dan kesatuan dalam perjuangan
melawan kolonialisme serta pembelaan terhadap tindak otoriter yang dilakukan
pemerintah. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dipaparkan
oleh Gus Mus dalam acara kick andy beberapa tahun lalu. Bahwa politik
menurut beliau, paling tidak ada tiga. Salah satunya adalah politik kerakyatan.
ini yang kiai itu hampir semua berpolitik. Dalam pengertiaan kalau ada rakyat
berhadapan dengan pengusaha. Kiai mendampingi. Kalau mereka berhadapan dengan
penguasa. Kiai mendampingi rakyat.
Langkah politik yang diambil oleh para ulama itulah
yang memprakarsai lahirnya Resolusi Jihad NU pada 22 Oktober 1945.
Kebijkan heroik yang mengobarkan jiwa nasionalisme dan rela mati demi tanah
air.
Teks Resolsi Jihad.
Bismillahirrahmanirrahim
Resolusi
Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsul-konsul)
Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945
di Surabaya:
Mendengar:
Bahwa di tiap-tiap daerah di seluruh Jawa-Madura
ternyata betapa besarnya hasrat ummat Islam dan Alim ulama di tempatnya
masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAULATAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA MERDEKA.
Menimbang:
a. Bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara
Republik Indonesia menurut hukum AGAMA ISLAM, termasuk sebagai suatu kewajiban
bagi tiap-tiap orang Islam
b. Bahwa di Indonesia ini warga Negaranya adalah
sebagian besar terdiri dari Ummat Islam.
Mengingat:
a. Bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dan Jepang yang
datang dan berada di sini telah banyak sekali dijalankan banyak kejahatan dan
kekejaman yang mengganggu ketenteraman umum.
b. Bahwa semua yang dilakukan oleh semua mereka itu
dengan maksud melanggar Kedaulatan Republik Indonesia dan Agama, dan ingin
kembali menjajah di sini, maka di beberapa tempat telah terjadi pertempuran
yang mengorbankan beberapa banyak jiwa manusia.
c. Bahwa pertempuran-pertempuran itu sebagian besar
telah dilakukan ummat Islam yang merasa wajib menurut hukum agamanya untuk
mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanya.
d. Bahwa di dalam menghadapi sekalian
kejadian-kejadian itu belum mendapat perintah dan tuntutan yang nyata dari
Pemerintah Republik Indonesia yang sesuai dengan kejadian-kejadian tersebut.
Memutuskan:
1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik
Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan
terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan Agama dan Negara
Indonesia, terutama terhadap fihak Belanda dan kaki tangan.
2. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan
bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan
Agama Islam.
Bagaimanapun ulama tetap akan terus menjadi figur
sentral dalam islam. Langkah dan tindakan mereka mejadi sorotan umat.
Sentralisme yang mereka memiliki
sesungguhnya bukan tidak berpotensi
negatif. Bertindak otoriter karena kemuliaan yang mereka
miliki, misalnya. Apalagi akhir-akhir ini, banyak oknum yang menjadikan posisi
mereka sebagai ladang mendulang materi. Posisi sentral mereka sangat riskan dan
sangat berpotensi untuk mengikis jiwa keumatan. Posisi zona aman yang
melenakan. Hingga tugas keutaman dilupakan untuk berada dalam posisi yang
terus aman dan nyaman. Hal tersebut bisa saja terjadi pada mereka yag tidak
bisa menjaga diri dan hati mereka. Dan faktanya, banyak oknum yang memang
memanfaatkan posisi tersebut.
Maka pertanyaan sekaligus pernyataan
dari Sosiawan Leak di Jawa Pos tempo hari sangat pas untuk
mengungkit kembali jiwa nasionalis, sosial keumatan dan jiwa
leadership dari ulama di era ini. Peran sentral mereka harus kembali
bangkit untuk menghantam problematika di era modern ini. Sebab perjuangan
membela tanah air tidak pernah selesai dan akan terus berlanjut.
“Kini, tatkala beragam bentuk penjajahan yang malih
rupa sebagai kolonialisme Hindia-Belanda telah tamat, fasisme Jepang telah
pergi, dan tipuan NICA telah minggat, apakah tidak ada ada kemungkinan lahirnya
bentuk penjajahan baru yang lebih canggih dan tak kentara? Usai diproklamasikan
pada 17 Agustus 1945, apakah kemerdekaan di negeri ini benar-benar telah hadir
dan bermakna tanpa ada kolonialisme baru yang menyaru rupa-rupa beraneka?
Nyatanya meski senantiasa diinisiatori oleh warga
bangsa sendiri, dioperatori oleh perangkat kekuasaan pemerintah sendiri,
serta dieksekusi oleh oknum birokrasi dan warga biasa anggota masyarakat kita
sendiri, korupsi nyata-nyata telah mengadopsi karakter penjajahan yang bejat
dan berdaya isap lebih dahsyat ketimbang para penjajah masa lalu.
Maka, jika di masa lampau praktik penjajahan yang
jelas-jelas mencederai ajaran agama itu ditolak tegas oleh para pejuang dan
umat islam lewat jihad fi sabilillah, semestinya praktik
korupsi di masa kini yang nyata-nyata lebih keji merampas harkat kehidupan dan
meronotokkan nilai-nilai kemanusiaan wajib mendapat perlawanan dari kaum
agamawan berikut seluruh umat beraga” (Jawa Pos, Minggu 10 Januari 2016)
Salam
0 Komentar