Bukan hanya pecinta berita yang mendengar kabar
pelecehan seksual. Orang-orang yang anti berita pun mau tidak mau harus
“tersuguhi” kabar ini. Barangkali sudah terlalu umum dan biasa. Berita
kriminalitas bentuk moral itu jadi salah satu berita “paling populer” di
Indonesia. Kalau Anda sekalian pernah membaca Radar Surabaya, atau Jawa Pos
minggu –karena saya hanya membeli koran hari minggu-, akan anda lihat berita
tersebut hampir tidak pernah absen ada berita-berita yang bersingguan dengan
masalah ini. Barangkali juga untuk hari-hari yang lain. Juga berita-berita di
TV.
Sebuah interaksi yang gagal. Meski dalam beberapa hal,
kita harus berkaca dan merenungi bahwa model pelecehan seperti ini agak lebih mending.
Orang-orang yang terlibat tidak dalam korban jumlah banyak. Sebab sesungguhnya
kita punya punya pelecehan yang lebih besar dan lebih mengerikan dari itu. Dan
dengan kebaikan hati kita, kita tidak pernah sadar dan tidak menganggap bahwa
hal tersebut sebagai pelecehan. Sekali lagi, betapa baiknya kita.
Kesadaran kita akan hak memilih dan hak
prerogatif dalam demokrasi sebagai “pemain utama” akan membangunkan kita dari
pingsan yang panjang.
Demokrasi mengemukakan teori “dari rakyat, oleh
rakyat, untuk rakyat”. Adanya lembaga perwakilan hanya sekedar wakil yang
dipilih rakyat. Lantas rakyat berpartisipasi dengan mewakilkan suaranya agar
disuarakan di parlemen sebagai lembaga resmi negara, dan hasil dari ide rakyat
“yang dititipkan” itu pun akhirnya kembali pada rakyat.
Sebuah teori yang begitu manis. Dan tanpa diberi tahu pun
kita sudah sadar bahwa teori tersebut hanya sekedar teori. Kita (rakyat) hanya
menjadi bagian dari demokrasi partisipan belaka. Dari rakyat, yang tidak oleh
rakyat dan tidak untuk rakyat. Kita hanya sekedar partisipan yang tidak
seutuhnya ikut serta dalam struktur demokrasi. Kita dilecehkan oleh orang-orang
yang setelah dipilih, ternyata memainkan polanya sendiri tanpa melibatkan
gagasan dan ide rakyat. Hasil dari kerja pun akhirnya hanya mereka yang
menikmati. Kita dilecehkan dengan banyaknya kasus korupsi dari lumbung
pemeritanhan. Orang-orang yang digaji oleh negara dengan uang rakyat tega menodai amanah
tersebut.
Dalam puisi Gus Mus yang berjudul “kau ini bagaimana”
kini kian gamblang terbukti.
Kau ini
bagaimana
Kau bilang kau
adalah wakilku
Aku sapa saja
kau merasa terganggu
Jangankan usul ide. Disapa saja kita seolah hanya
patung yang tidak menarik. Seorang anak berbaju kumuh membawa koran di pinggir
jalan dengan air mata menetes pelan mendekap dengkulnya yang memar. Adiknya
yang ingusan berumur 3 tahun berlari seolah jalanan adalah tempat bermain
paling mengasyikkan yang pernah ada. Ibunya di rumah tetangga memejamkan mata
sejenak sambil memegangi baju kotor dari tumpukkan baju yang mengantri mendapat
giliran dicuci. Satu air mata mengalir, belum sempat menetes, ia seka dengan
penuh ketegaran. Seorang wakil rakyat memandangi layar smartphonnya seharga 10
juta di dalam mobil dinasnya dengan rokok menyala di tangan kiri. Tawanya
meledak membaca sms kawannya tentang “proyek” korupsi yang berhasil.
Ada pelecehan yang sesungguhnya lebih kejam dari
pelecahan seksual yang merebak, yaitu tindak korupsi yang membudaya.
Salam
“Setidaknya
kita harus membuka mata, fokus kita tidak hanya soal berita yang sedang
trending. Tapi juga masalah besar yang kadang tersembunyi dan disembunyikan”
0 Komentar