Sembari
berdansa, mari kita hembuskan geliat senyum pada bait sepoi-sepoi yang kemaren
sempat tertular debudebu. Selepas itu aku mulai membasuh tubuhku dengan tebaran
senyum. Memapah jiwa menuju lapisan Atmosfir. Berjarak antara angin dan dedaun.
Di setiap derapnya, ada bebatuan, ada kubangan, ada kemilau seperti
gunung-gunung yang tampak mengundang pandang, ada juga tumpukan-tumpukan sampah
yang mementalkan langkah. Apakah bak derap kaki kuda yang dengan indah melompat
dan meloncat? Atau bagai lari celeng sampai menabrak-nabrak? S’gala telah
terlukis pada kanvas azali. Hanya saja yang tertulis di dalamnya, bagaimana ia
memilah pilih menjadi butiran tasbih. Atau jiwa-jiwa akan letih sehingga
tertatih-tatih.
Debu-debu
pasti terbang kala tertiup angin. Manakala angin tertiup, ia tak peduli pada
siapa pun yang terhembus belainya. Adakalanya hembus angin membawa aroma mawar
dari taman-taman surga. Atau aroma mawar itu hanya dari taman-taman ilusi.
Adakalanya angin membawa kabar keindahan dari ujung jari-jari pagi yang hangat
mentarinya membakar semangat. Adakalanya membawa senja yang berwarna lembayung.
Dan pada hembusan angin pun akan tertiup debu-debu. Bisakah jiwa kita basuh
dengan embun yang lahir di setiap angin senyap dan alam tersungkur hening?
Embun-embun menunggu jiwa-jiwa datang tak hanya untuk membasuh, bermandi,
berenang sambil meneguknya pun, embun selalu ada dan siap melayani ragam jenis
burung yang mana pun untuk dilayani.
Seperti
keheningan sahur kemarin, ada hentakan-hentakan yang mungkin memerihkan denyut
nadi. Bagai sayatan-sayatan bilah belati karatan. Tetapi kemudian embun datang
menghampiri dan meneteskab air kasih dari dalam jiwanya yang kinasih. Lalu
angin membelai-belai lembut tubuh-tubuh yang gigil lagi dekil. Daun-daun ikut
mengipasi gerah raga yang memerah. Semua menjadi asyik masyuk dalam khusyuk.
Mari
berdansa, meliuk-liukkan dzikir dan menancapkan pikir.
0 Komentar